Piamanexplore-Negara yang besar adalah Negara yang tidak akan pernah melupakan sejarahnya, itulah pepatah yang mungkin bisa kita maknai dari peringatan hari Kartini.
Tanggal 21 April setiap tahunnya dirayakan agar dapat mengambil pelajaran dan merefleksikan akan hakekat dari perjuangan emansipasi wanitanya seorang bernama Kartini.
Terlepas dari perjuangan Kartini, rasanya banyak kartini-kartini lainnya di belahan Indonesia lainnya yang telah terlupakan oleh generasi saat ini.
Padahal mereka juga telah berjuang sebelum dan sesudah zamannya Kartini. Lihat saja di Minangkabau, banyak tokoh wanita yang telah berjuang dimasanya, berikut diantaranya:
1. Siti Manggopoh (1880-1965)
Ada yang terlupakan dari catatan sejarah Indonesia. Siti Manggopoh. Nama perempuan asal Minang ini memang tidak bergaung seperti Kartini.
Ketika itu, perempuan-perempuan Indonesia yang berpendidikan tinggi sedang mengibarkan bendera perjuangan gender.
Pada saat itu Siti Manggopoh, perempuan pejuang yang lahir pada bulan Mei 1880 ini berasal dari desa kecil terpencil di Kabupaten Agam, Sumatra Barat muncul sebagai perempuan dengan semangat perlawan terhadap penjajahan yang terjadi di negerinya.
Padahal, jika ditelusuri lagi, Siti Manggopoh merupakan pahlawan perempuan dari Minangkabau yang mampu mempertahankan marwah bangsanya, adat, budaya dan agamanya.
Bagaimana tidak, Siti Manggopoh pada tahun 1908 melakukan perlawanan terhadap kebijakan ekonomi Belanda melalui pajak uang (belasting) yang disebut dengan Perang Belasting.
Peraturan belasting dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau sebab tanah adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau.
Siti Manggopoh meninggal di usia 85 tahun, pada 20 Agustus 1965 di Kampung Gasan Gadang, Kabupaten Agam.
2. Rohana Kudus (1884-1972)
Rohana Kudus merupakan jurnalis pertama wanita Indonesia yang lahir di Koto Gadang, Sumatra Barat pada 20 Desember 1884.
Rohana hidup di zaman yang sama dengan Kartini. Ia adalah perdiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia yaitu koran Sunting Melayu, Wanita Bergerak, Radio dan Cahaya Sumatra serta pendiri sekolah Kerajinan Amal Setia dan Rohana School.
Emansipasi yang dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-laki namun lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya.
Dengan kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Rohana melawan ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan.
Untuk dapat berfungsi sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk itulah diperlukannya pendidikan untuk perempuan.
Rohana Kudus menghabiskan masa hidupnya dengan beragam kegiatan yang berorientasi pendidikan, jurnalistik, bisnis dan bahkan politik.
Selama hidupnya ia menerima penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia (1974), Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya sebagai Perintis Pers Indonesia pada 9 Februari 1987 di Hari Pers Nasional ke-3 dan tahun 2008 pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Jasa Utama.
3. Rahmah El-Yunusiyah (1900-1969)
Rahmah El-Yunusiyahdikenal sebagai Ibu Pendidikan Indonesia yang dilahirkan di Padang Panjang, Sumatra Barat pada 29 Desember 1900 dan wafat pada 26 Februari 1969.
Pada zamannya, ada semacam kepercayaan yang tumbuh di masyarakat bahwa sehebat dan secerdas apapun seorang perempuan, pada akhirnya akan kembali pada kehidupan rumah tangga.
Anggapan demikian juga dianut oleh masyarakat matrilinial sekalipun, seperti Sumatra Barat.
Hal ini pula yang agaknya mengusik nurani Rahmah El-Yunusiyah. Rahmah merupakan satu dari sedikit perempuan di Sumatra Barat pada zaman pra-kemerdekaan yang menolak anggapan seperti itu.
Bagi Rahmah, perempuan memiliki hak belajar dan mengajar yang sama dengan kaum laki-laki.
Persoalannya, hanya terletak pada akses pendidikan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, sistem pendidikan di Nusantara memang masih sangat jauh dari yang diharapkan dan kaum perempuan belum memiliki akses pendidikan yang sama dengan laki-laki.
Rahmah bagi banyak kalangan di Indonesia barangkali masih terkesan asing. Begitu juga kiprahnya dalam memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan Indonesia mungkin tidak segaung perjuangan Kartini.
Namun, kontribusinya dalam memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan di Tanah Air tidak bisa dipandang sebelah mata.
4. H.R. Rasuna Said (1910-1965)
Hajjah Rangkayo Rasuna Said adalah seorang wanita asal Maninjau, Agam, Sumatra Barat yang mempunyai kemauan keras dan berpandangan luas. Seperti halnya Kartini, ia juga memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria dan wanita.
Awal perjuangan beliau dimulai dengan beraktivitas di Sarekat Rakyat sebagai Sekretaris cabang dan kemudian menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) hingga menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) di Zaman setelah kemerdekaan.
Rasuna Said yang lahir pada 14 September 1910 ini dikenal sebagai seorang orator pejuang kemerdekaan Indonesia.
Rasuna Said juga tercatat sebagai wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict yaitu hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda.
Rasuna diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No. 084/TK/Tahun 1974 pada 13 Desember 1974.
"Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibanya.
Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan"