Piamanexplore-Sekitar awal dasawarsa 1960 an menteri pendidikan dan kebudayaan Dr. Prijono menciptakan kata pariwisata.
Menurut kata salah satu tokoh industri kepariwisataan di Indonesia Nyoman s pendit, pada masa itu,
Prijono erat bekerja sama dengan sultan Hamengkubuwono IX yang mendirikan kementrian khusus yang mengatur perjalanan dan pariwisata,
kemungkinan besar dalam penciptaan kata baru itu mereka berunding dengan Presiden Soekarno yang cukup akrab dengan Prijono.
Kata baru itu mengganti kata bertamasya yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia untuk perjalanan dan bersenang-senang,
bukan perjalanan dengan maksud politik atau ekonomi tertentu Prijono menggunakan penelitian PhD nya di Leiden untuk menggali bahasa kawi sebagai sumber budaya dasar Indonesia.
Walaupun kedua kata wisata dan tamasya itu sama-sama berasal dari bahasa-bahasa India kiranya
pariwisata adalah kata yang lebih resmi maju dan teratur bagi negara yang mulai berdiri diatas kaki sendiri itu.
Dengan memilih kata pariwisata Prijono dan koleganya ingin juga mengganti kata yang merupakan warisan zaman Hindia-Belanda “toeristen”.
Sebagai negara yang baru merdeka. Indonesia harus melewati paradigma kolonial. Salah satu unsur didalam paradigma itu adalah pemikiran dimana tanah dan air merupakan milik penjajah.
Dalam kegiatan toeristen zaman Hindia-Belanda, orang berkulit putih baik dari belanda maupun dari negara eropa lain atau amerika,
mendapat kedudukan yang lebih tinggi dalam pandangan serta kuasaan ideologi.
Dalam buku Pariwisata di Hindia-Belanda (1881-1942), Achmad Sunjayadi menguraikan pembentukan serta tata cara pendirian pariwisata pada zaman kolonial Hindia-Belanda.
Sunjayadi menghubungkan munculnya kepariwisataan di eropa pada akhir abad ke 18 dengan kebijakan pemerintah Hindia-Belanda, pandangan budaya belanda dan kegiatan pengusaha kecil maupun besar.
Sunjayadi menggarisbawahi berlanjutnya pembentukan batasan negara penjajahan melalui perdagangan dan ilmu pengetahuan dua unsur penting untuk pariwisata.