Piamanexplore-Dalam sejarah,aksi menolak bayar pajak pernah terjadi di
Sumatra Barat. Pada 1908,rakyat Minang menentang kebijakan pemerintah Hindia
Belanda yang menaikkan pajak. Sekitar seribu orang terlibat,kebanyakan dari
mereka luka berat,namun tak sedikit yang meninggal dunia.foto harian singgalang
“Yang menjadi sebab pemberontakan itu ialah peraturan yang diadakan oleh pemerintah Hindia Belanda, yang mewajibkan rakyat Minangkabau membayar pajak langsung,” kata Mohammad Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku.
Mula Peristiwa
Pada Oktober 1888,pemerintah Hindia Belanda mendapat panggilan dari pemerintah pusat di Den Haag.
Mereka dimintai pertanggungjawaban atas penurunan budidaya kopi di wilayah Sumatra.Dalam pertemuan itu disepakati bahwa pemerintah akan mengganti pajak pertanian dan menerapkan pajak perorangan kepada seluruh rakyat Minang.
Itu dilakukan untuk menutupi kerugian akibat kualitas kopi dari Sumatra yang menurun dan pemasukkan dari cultuurstelsel (tanam paksa) yang terlampau kecil.
Untuk menghindari konflik,Gubernur Sumatra Barat W.J.M. Michielsen menerapkan peraturan baru itu secara perlahan. Mulanya diadakan jajak pendapat untuk mendengar penilaian rakyat akan pajak perorangan yang bakal diberlakukan.
“Praktis para wakil (rakyat) itu menolak membayar pajak karena ekonomi yang berat. Kalau toh ada yang tidak menentang, ini lebih disebabkan karena takut pada para penghulu kepala (baca: Belanda),” tulis Rusli Amran dalam Pemberontakan Pajak 1908.
Michielsen berusaha menjelaskan alasan pemerintah mengambil kebijakan itu. Namun rakyat tidak mendengarnya karena takut pajak itu akan memberatkan hidupnya.
Pendekatan pemerintah yang tadinya berjalan damai berubah menjadi panas. Malah di beberapa tempat terjadi aksi anarkis yang membuat geram pemerintah.
Gubernur tetap memberlakukan pajak perorangan. Dia memerintahkan tentara bersiaga manakala terjadi pemberontakan.
Pada 1897, rakyat mulai bergerak menyebarkan berita perlawanan. Melalui para tokoh kharismatik, mereka berusaha mengumpulkan kekuatan dari berbagai daerah.
Menurut laporan Residen Prins dalam “Surat Rahasia” No. 67 tahun 1897, salah satu tokoh yang merencanakan perlawanan adalah Tuanku Padangganting.
Tuanku Padangganting merupakan bekas murid Tuanku Syekh Nuruddin dari Tilatang, yang dikenal sebagai ulama Kotolaweh. Tuanku Padangganting menyiapkan sekitar 600 orang Aceh di bawah pimpinan Teuku Husin. Dia berencana membuat kekacauan di Padangpanjang dan Padang pada 1 Agustus 1897.
Rencana itu digagalkan setelah guru Tuanku Padangganting, Yunus Tuanku Sutan, membocorkannya. Pemerintah menangkap Tuanku Padangganting dan beberapa tokoh lainnya.
Setelah peristiwa itu, Michielsen menerima instruksi dari Menteri Jajahan Negeri Belanda: “jangan dulu menjalankan pajak langsung berupa uang sebagai pengganti sistem kerja paksa kopi!” Belanda khawatir timbul perlawanan rakyat Minang saat mereka sedang memusatkan kekuatannya di Aceh.
Puncak Perlawanan
Sejak pemberontakan pertama digagalkan, ketegangan di Sumatra Barat terus meningkat. Pemerintah semakin memperketat penjagaan di sejumlah tempat, terutama Kamang, Agam, Tilatang, dan Banuampu.
Namun, rakyat Minang semakin gencar merencanakan penyerangan. Pedagang asal Pahambatan (Agam), Angku Haji Saidi Mangkuto, menjadi tokoh penting dalam gerakan pemberontakan kedua.
Dia beberapa kali menginisiasi rapat sembunyi para penghulu andiko (tokoh masyarakat) di Agam. Keyakinkan rakyat untuk menolak pajak pun semakin besar.
Namun, seorang penghulu membocorkan informasi rapat sembunyi itu kepada pemerintah. Pada 22 Maret 1908, pemerintah menangkap para penghulu andiko.
Tindakan itu memancing emosi rakyat Minang. Sekitar 3.000 penduduk turun ke jalan. “Di mana-mana beduk ditabuh memanggil penduduk berkumpul, ramai-ramai unjuk rasa ke Bukittinggi,” tulis Rusli.
Mereka mendatangi kantor kontrolir menuntut pembebasan penghulu andiko sekaligus menegaskan penolakan membayar pajak.
Untuk meredam kemarahan massa, pejabat setempat berjanji membebaskan para penghulu andiko pada 26 Maret 1908. Namun, saat hari yang dijanjikan tiba, para penghulu andiko malah dibawa ke penjara di Padang.
Rakyat yang geram kembali unjuk rasa di Bukittinggi. Pemerintah menurunkan tentara bersenjata lengkap yang diizinkan bertindak keras. Akibatnya banyak rakyat terluka.
Keadaan serupa terjadi di Laras Kamang. Daerah paling utara kecamatan Agam itu menjadi yang terdepan dalam menolak pajak. Tokoh Kamang, Kari Mudo, paling vokal menyuarakan penolakan. Dia mengajak rakyat agar tak mengeluarkan sepeser pun untuk pajak.
Pada 20 April 1908, pejabat pemerintah datang ke Kamang untuk memberi tahu rencana pemungutan pajak perorangan.
Namun, pejabat daerah Kamang yang prorakyat dianggap mempermalukan pemerintah. Bahkan pidato Kari Mudo, yang kemudian mati, telah menghina pemerintah.
Merasa di atas angin, Kari Mudo mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat khususnya ulama untuk menghadapi Belanda. Termasuk Haji Abdul Manan, ulama terkemuka di Bukittinggi. Selama Mei-Juni, dia berhasil mengumpulkan massa yang sangat banyak dari berbagai daerah.
“Haji Abdul Manan memberikan pidato terakhir sebelum konfrontasi lawan Belanda. Dia minta semua jangan ragu-ragu mati sahid,” tulis Rusli.
Pada 16 Juni 1908, pemerintah mengeluarkan perintah menyerang Kamang. Tindakan itu diambil setelah mata-mata melaporkan bahwa penduduk Kamang telah menyusun rencana pemberontakan.
Sebanyak tiga pasukan, masing-masing 50 tentara, dikerahkan dari Bukittinggi. Dari laporan kontrolir tanggal 25 Juni 1908 No. 1012/8, diketahui bahwa Kamang berubah menjadi medan pertempuran yang besar.
Sekitar seribu orang penduduk bersenjata tajam menyerang tentara. Jumlah korban di pihak penduduk lebih dari 200 orang. Sementara korban tewas di pihak Belanda hanya sembilan orang.
Namun sumber lain, 70 Tahun Perang Kamang Manggopoh: Peringatan Perlawanan Rakyat Indonesia di Minangkabau, menyebut tentara Belanda yang tewas tidak kurang dari 425 orang.
Sumber berita: https://historia.id/.../minang-menolak-bayar-pajak.../page/1