Piamanexplore-Nama Kota Payakumbuh diyakini berasal dari padanan kata
“Payau Nan Kumbuah”. Lambat-laun sebutan itu berganti menjadi “Payau Kumbuah”.
Hingga lebih ringan disebut sebagai Payakumbuh.seorang warga menunjukkan payau nan kumbuah (foto padek.jawapos.com)
DALAM bahasa lokal Payakumbuh, “Payau” berarti rawa-rawa. Sedangkan “Kumbuah” adalah tanaman mensiang atau wlingi (Actinoscirpus grossus) yang sering digunakan sebagai bahan anyam-anyaman.
Dengan demikian, “Payau Nan Kumbuah” berarti rawa-rawa yang ditumbuhi tanaman mensiang. Konon, dahulu kala, sebagian besar wilayah Payakumbuh adalah rawa-rawa yang banyak ditumbuhi mensiang.
Bahkan, sampai sekarang, tanaman mensiang yang disebut sebagai “Kumbuah” oleh masyarakat Payakumbuh, masih mudah ditemukan di kawasan yang ada “Payau” atau rawa-rawanya.
Seperti di Komplek Balai Kota Payakumbuh di kawasan eks lapangan Poliko atau dulu disebut juga sebagai lapangan Kapten Tantawi.
Sehingga tidak heran, bila HC Israr, salah satu tokoh yang terlibat dalam Panitia Peresmian Kotamadya Payakumbuh pada 1970 silam, meyakini, “Kumbuah Nan Payau” atau “Payau Nan Kumbuah”
Itu pertama kali ditemukan di kawasan eks Lapangan Poliko yang kini menjadi Balai Kota Payakumbuh. Keyakinan itu dituangkan HC Israr dalam sejumlah tulisan dan bukunya.
Namun, tidak semua warga Payakumbuh meyakini, “Payau Nan Kumbuah” berada di Komplek Balai Kota Payakumbuh sekarang. Misalnya saja, masyarakat adat Nagari Koto Nan Gadang, Kecamatan Payakumbuh Utara.
Mereka yakin benar, “Payau Nan Kumbuah” atau “Kumbuah Nan Payau” itu terletak di kawasan Balai Cacang, Nagari Koto Nan Gadang.
Untuk membuktikan keyakinan itu, para pemuka adat Nagari Koto Nan Gadang pada tahun 2009 silam, pernah mengajak wartawan Padang Ekspres melihat bekas lokasi “Payau Nan Kumbuah”.
Para pemuka masyarakat itu diantaranya adalah Haji Datuk Damuanso, Fachrul Umar Dt Tuah Nan Basango, T Dt Panghulu Rajo Nan Hitam, MA Dt Bijo Nan Hitam, HDB Dt Simulia Nan Pandak, dan Ertenis Dt Pangeran Jambi Nan Putiah.
Menurut para pemuka adat Nagari Koto Nan Gadang tersebut, di bekas lokasi “Payau Nan Kumbuah” itu dulunya pernah ada semacam ustano (istana) bagi salah seorang nenek-moyang Payakumbuh bernama Barabih Nasi.
“Di sinilah, Payau nan Kumbuah itu. Di sini pula, istano Barabih Nasi pernah berdiri,”kata Haji Datuk Damuanso yang kala itu berusia 81 tahun.
Sayang, lokasi “Payau Nan Kumbuah” di Balai Cacang, Nagari Koto Nan Gadang, Kecamatan Payakumbuh Utara itu, kini mulai terlupakan.
Padahal, dalam urusan pelestarian nilai-nilai budaya ini, Payakumbuh sebenarnya sudah lebih maju dari daerah lain di Sumbar.
Di Payakumbuh, terdapat Perda Nomor 25 Tahun 2016 Tentang Pelestarian dan Pengembangan Adat di Nagari.
Menurut mantan Ketua DPRD Payakumbuh Yendri Bodra Datuak Parmato Alam, Perda 25/2016 itu, tidak hanya memperkuat peranan Limbago Pucuak Adat, Urang Nan Ompek Jinih, Jinih Nan Ompek, Niniak Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang, Puti Bungsu dan Paga Nagori di Payakumbuh, tanpa mengabaikan peran KAN dan LKAAM.
Namun, juga mempertegas tanggungjawab pemerintah daerah dalam pelestarian dan pengembangan adat di Payakumbuh.
Dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 Perda ini, pemerintah daerah diamanatkan melakukan delapan upaya, untuk melestarikan dan mengembangkan adat, dengan melibatkan peran aktif lembaga adat dan masyarakat adat.
Perda ini juga mengamanatkan perlunya mengenalkan dan mengajarkan nilai adat Minangkabau pada semua jenjang pendidikan. Bahkan, Perda ini juga menyinggung tentang pembentukan kampung adat, perbaikan rumah gadang,
Dan kewajiban memakai ornamen adat atau arsitektur adat Minangkabau (gonjong) pada setiap pembangunan gedung milik pemerintah atau swasta.
Dengan mengacu kepada Perda Payakumbuh 25/2016, Pemko Payakumbuh bisa menjadikan kawasan “Kumbuah Nan Payau” sebagai kampung adat.
Jika terwujud, kawasan itu nantinya tentu juga bisa menjadi ikon wisata baru bagi Payakumbuh. Paling tidak, ada jejak-jejak masa lalu yang bisa dilihat generasi untuk lebih optimis menghadapi masa depan.