Piamanexplore-Di Pariaman Sumatera Barat ada Syekh Burhanuddin yang mengembangkan Islam secara Pesat.
Syekh Burhanuddin belajar agama Islam Dari Aceh beliau Berguru Pada Syekh Abdurrauf Singkil atau Tengku Syiah Kuala.
Piamanexplore melansir dari Harianhaluan bahwa Islam berkembang di Sumatera Barat pada abat ke 16.
Berbicara tentang kerajaan di Sumatera, maka tidak akan bisa lepas dari pembahasan terkait dua kerajaan besar yakni Kerajaan Pagaruyung dan Kesultanan Aceh.
Kerajaan Pagaruyung yang terletak di Sumatera Barat dan Kesultanan Aceh merupakan dua kerajaan islam terbesar yang ada di tanah Sumatera pada saat itu.
Namun, tahukah anda bahwa dalam islamnya Kerajaan Pagaruyung terdapat andil besar dari Kesultanan Aceh.
Menurut Prasasti Batusangkar, dahulu ada raja bernama Adityawarman yang merupakan keturunan Majapahit.
Raja tersebut memerintah di daerah bernama Malayapura yang kemudian berubah menjadi Pagaruyung.
Sebenarnya, di wilayah Sumatera Barat sendiri sebelumnya sudah berdiri konfederasi yang beranggotakan Nagari dan Luhak.
Jadi, berdirinya Kerajaan Pagaruyung dianggap hanya sebagai pergantian sistem administrasi semata.
Kala itu, banyak musafir dan ulama dari Aceh dan Malaka yang melakukan perjalan ke Pagaruyung.
Salah satu diantaranya adalah murid dari ulama Aceh yakni Abdurrauf Singkil atau Tengku Syiah Kuala, yakni Syaikh Burhanuddin Ulakan.
Dengan terus menyebarnya ajaran Islam secara masif di wilayah Kerajaan Pagaruyung, maka pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung secara resmi berubah menjadi kesultana Islam.
Raja pertama Pagaruyung saat itu adalah Sultan Alif. Setelah Kerajaan Pagaruyung menjadi kerajaan Islam, berubah pula hukum atau aturan yang ada di lingkungan kerajaan. Hukum adat yang semula ditegakkan diganti dengan hukum Islam.
Pepatah terkenal Minangkabau pada saat itu adalah, “Adaik basandi syarak, Syarak basandi Kitabullah”.
Pepatah itu memiliki artinya masyarakat Minangkabau bersendikan agama Islam, sedangkan Islam bersendikan Al-Quran.
Hubungan Kerajaan Pagaruyung dan Kesultanan Aceh mulai renggang pada awal abad ke-17, setelah Pagaruyung dipaksa untuk tunduk pada gubernur Aceh di Pesisir Barat Sumatera.
Raja Pagaruyung pun meminta bantuan VOC untuk mengusir Aceh. Kesultanan Aceh akhirnya bisa disingkirkan pada tahun 1666.
Walaupun hukum dan aturan secara resmi diubah menjadi hukum Islam, tetapi masih ada praktik-praktik terdahulu yang dijalankan oleh kaum adat.
Sehingga, terjadi perselisihan antara kaum adat dan kaum padri yang nantinya menjadi akar pecahnya Perang Padri.
Kerajaan Pagaruyung sendiri akhirnya runtuh pada 1821, setelah Sultan Tunggul Alam Bagagarsyah sudah terdesak oleh kaum padri.
Kemudian, menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk mengusir kaum padri dari Pagaruyung.
Belanda sendiri menganggap bahwa perjanjian tersebut merupakan kesepakatan bahwa Kerajaan Pagaruyung telah resmi tunduk di bawah kekuasaan Belanda.
Sekarang, peninggalan Kerajaan Pagaruyung yang dapat disaksikan adalah replika Istana Pagaruyung, yang di mana bangunan aslinya telah terbakar di masa lalu.