Dahulunya Padang hanyalah kampung nelayan karena datarannya yang terletak di pesisir pantai Pulau Sumatra. Sejak abad 17, Padang mulai dilirik sebagai tempat bersandarnya kapal-kapal niaga, disamping Tiku dengan potensi yang sama.
Tapi karena saat itu terjadinya konflik antara penguasa setempat dengan para pendatang asing, akhirnya Kota Padang mulai mendapat perhatian utama.
Kawasan Muaro Padang atau Batang Arau menjadi saksi sebagai pintu gerbang menuju daerah pedalaman dan dataran tinggi di Sumatra Barat.
Sehingga hampir di sekitar wilayah ini berdirilah bangunan-bangunan yang menggambarkan fungsinya masa itu, seperti kantor perdagangan dan gudang.
Bahkan di awal abad 19, terdapat sebuah stasiun kereta api yaitu Stasiun Kereta Api Pulau Aia.
Yang namanya penjajah selalu serakah dalam segala hal. Kompeni atau Belanda ternyata selalu ingin mengeruk kekayaan alam nusantara ini dan berambisi sekali memperluas daerah kekuasaannya.
Waktu yang tiga setengah abad merupakan perjalanan yang sangat panjang bagi Belanda dan bangsa yang dijajahnya.
Salah satu warisan peninggalan Belanda adalah bangunan-bangunan perniagaan dan pertahanan, yang sebagian besar masih ada sampai sekarang.
Sebelumnya mari kita lihat satu tempat yang mungkin saja tidak banyak orang yang tahu, bahwasanya Kota Padang tidak saja memiliki meriam seperti di benteng Jepang Gunung Padang (panjang ± 8 meter), tapi juga terdapat di Sei. Beremas.
Tepatnya bersebelahan dengan Mercusuar OS. Beremas (Bukit Lampu). Ditempat ini terdapat sebuah meriam dengan ukuran yang sama.
Meriam tersebut tergeletak begitu saja diatas tanah, sedang perangkat lainnya sudah berserakan dan ada yang hilang oleh tangah-tangan yang tidak tahu artinya sejarah.
Dibawah mercusuar itu sendiri memang terdapat sebuah benteng, namun meriamnya sudah hilang dan hanya tinggal kedudukannya saja.
Posisi kedua benteng tersebut sama-sama menghadap ke laut dan memiliki lorong ± 250 meter.
Belanda atau Jepang memang sudah merencanakan untuk menguasai Kota Padang dan sekitarnya secara menyeluruh, walaupun untuk itu harus menghadapi perlawanan yang gigih dan melelahkan dari para pejuang.
Sehingga dapat dipastikan, hampir disetiap tempat di sebelas kecamatan Kota Padang ini dapat ditemukan bangunan-bangunan yang berguna untuk pertahanan atau penyerangan.
Jika saja kita mengikuti pola pikirnya penjajah, dimana benteng di Mercusuar OS. Beremas berfungsi mengawasi kawasan perairan Teluk Bayur dan sekitarnya, kemudian benteng di Gunung Padang untuk menghadapi datangnya musuh yang akan masuk melalui Muaro Padang atau sekitar Pantai Air Manis.
Tentunya mereka ingin juga mendirikan sebuah benteng yang dapat mengamati hampir seluruh wilayah pedalaman dan pesisir pantai Padang.
Tertarik akan asumsi ini, penulis hanya melihat bahwa Gunung Pangilun-lah daerah yang tepat untuk itu. Penulis kemudian mulai mencari informasi untuk membuktikan kebenaran dugaan ini.
Ternyata memang betul adanya, Gunung Pangilun tidak saja berfungsi sebagai jalurnya evakuasi Tsunami tapi juga memiliki lorong-lorong yang sangat panjang layaknya sebuah benteng, bahkan mungkin melebihi Mercusuar OS. Bremas dan Gunung Padang.
Penulispun bertemu dengan beberapa orang penduduk setempat yang pernah masuk ke dalam lorong tersebut dan mengetahui banyak sedikitnya hal ikhwal tentang gunung ini.
Nama gunung diambil dari nama orang, yang konon dulunya sangat disegani serta dihormati, bahkan ada yang beranggapan Nenek Pangilun terkenal Sakti.
Menurut kabar nenek ini dimakamkan disalah satu puncak gunung ini (terdiri dari tiga bukit kecil yang berbaris). Sehingganya sejak saat itu disebut Gunung Pangilun.
Gunung Pangilun sebelumnya disebut juga Gunung Senteong dan Gunung Ledang, atau nama-nama dari tiga gugusan gunung ini.
Gunung Pangilun bukanlah gunung dalam arti sebenarnya, hanya saja masyarakat setempat telah terbiasa menyebut gunung daripada Bukit Pangilun.Berdasarkan informasi yang diperoleh, digunung ini terdapat lubang dan benteng, yang kesemuanya berfungsi untuk penyerangan, pertahanan, atau tempat tinggal.
Diasumsikan, didalam tiga rangkaian gunung kecil ini terdapat terowongan yang saling berhubungan. Untuk membuktikan dugaan tersebut, pada hari Jumat tanggal 9 Januari 2008, pukul 10.00 Wib.
Penulis ditemani oleh Ayah (pernah memasuki salah satu lubang) dan Eri (pemuda setempat), mulai menaiki salah satu sisi bukit.
Penulis kemudian menemukan lubang dengan tinggi ± 1,5 meter yang berlorong dengan lebar ± 1 meter yang mengarah ke perut gunung.
Menurut informasi, panjang terowongan ini mungkin ± 2,5 km, yang memiliki beberapa kamar disepanjang lubangnya. Karena keterbatasan alat dan waktu, penulis hanya melihat dari mulut lubang saja.
Ditempat terpisah, yaitu di lereng gunung lain, ditemukan bangunan berbentuk benteng kecil. Pada bagian luarnya terdapat celah kecil yang berfungsi untuk mengintai dan menembak.
Posisi benteng kecil ini mengarah kebagian barat (mungkin untuk musuh dari arah laut atau darat) dan timur untuk bagian pedalaman.
Bangunan dengan fungsi yang sama juga penulis temukan ditempat lain. Sepertinya benteng atau pos kecil ini mengelilingi gunung ini.
Jarak antar pos tersebut ± 500 m. Hampir setiap benteng tersebut terdapat lorong dengan tinggi ± 1,5 meter dan lebar ± 1 meter yang mengarah ke perut gunung.
Hanya saja jalan ke arah ini ada yang tertimbun oleh tanah dan ada yang sengaja ditutup. Dinding lorong atau pos terbuat dari beton dan permanen.
Penulis kemudian melanjutkan penelusuran ke salah satu puncak Gunung Pangilun ini. Dibagian puncak ini terdapat sebuah wadah berbentuk kolam atau penampungan air hujan.
Dimana disalah satu ujungnya terdapat saluran kecil yang mengarah kebagian bawah gunung.
Tidak beberapa jauh dari wadah itu terdapat lagi bangunan kecil bundar tapi tidak memiliki jendela atau ventilasi, hanya sebuah jalan masuk dari tanah.
Sementara itu, persis dibelakang Kantor Lurah Tabing Banda Gadang ditemukan lubang yang sudah ditutupi tanaman penduduk setempat, menurut iformasi, lorongnya tembus sampai ke belakang Kantor BKMM (Balai Kesehatan Mata Masyarakat).
Masih banyak sisi bukit lain yang belum penulis telusuri karena hari keburu senja.
Penelusuran hari ini telah memberikan gambaran yang jelas bahwasanya Gunung Pangilun pada waktu dulunya bukan saja berfungsi sebagai pengintaian, penyerangan dan pertahanan, bahkan lebih dari sekedar benteng biasa.
Berkemungkinan sekali gunung ini dijadikan sebagai bunker atau tempat tinggal oleh Belanda atau Jepang.
Hal ini dibuktikan dengan adanya aliran air dari atas menuju keberapa bagian bawah gunung. Bahkan ada informasi yang menyebutkan bahwa mobil (jeep) bisa sampai ke atas, dan terdapat tanah lapang yang cukup luas.
Disamping itu juga ada beberapa kamar saling berhadapan diantara jalur terowongan.
Jika dikaitkan dengan letak gunung tidak jauh dari pusat kota, asumsi Gunung Pangilun adalah benteng sekaligus bunker dapat diterima.
Apalagi satu-satunya gunung (bukit) yang terpisah (berdiri sendiri) dari gugusan Gunung Padang di Muaro Padang adalah Gunung Pangilun.
Sehingga tidak salah kalau Belanda atau Jepang melirik gunung ini potensial sekali dijadikan benteng sekaligus tempat tinggal untuk sementara waktu.
Penulis hanya bisa menghela nafas panjang, karena kita kembali dihadapkan pada ketidakberdayaan yang selalu berakar dari kurangnya perhatian dan minat kita terhadap peninggalaan pendahulu kita.
Sekiranya apa yang penulis temukan sekarang hanya akan menjadi wacana, maka kita kembali kehilangan bukti sejarah lahirnya sebuah kota.
Diperlukan usaha dan upaya yang serius dan berkesinambungan untuk menggali potensi ini, sehingga Gunung Pangilun dapat dijadikan objek wisata bersejarah, atau bisa saja menjadi For de Cock-nya Padang.Semoga jejak sejarah dikota ini tidak hilang ditelan waktu dan kepentingan pembangunan, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pendahulunya.