Lantas, kenapa makanan ini bernama galamai? Dan bagaimana pula cara praktis membuat galamai?
Menyebut nama galamai, di pelupuk mata orang Minang, pasti terbayang makanan berwarna cokelat kehitam-kehitaman yang terhidang kala hajatan datang.
Makanan khas Payakumbuh dan Limapuluh Kota ini memang cukup kesohor. Walau belum setenar dodol Garut, tetapi galamai cukup mendapat tempat di hati “urang awak”.
Namun, kenapa makanan ini bernama galamai? Jawabannya, gampang-gampang susah. Budayawan asal Payakumbuh, Cui Idra saat ditanya wartawan semasa hidupnya, mengaku tak begitu mengetahui galamai berasal dari kata apa. Sebab, sejak dulu kala, namanya memang sudah galamai juga.
Sedangkan budayawan lainnya, seperti Yulfian Azrial atau Yum AZ yang konsen menulis buku Budaya Adat Alam Minangkabau, menyebut ada dua versi kenapa makanan ini disebut galamai.
Pertama, dilihat dari sifatnya. Kedua, ditilik dari asal usulnya.
“Kalau dari sifat, galamai itu bersifat galeme atau galemai (berlemak). Bila dibawakan pada bubur, orang Minang menyebutnya galeok (kenyal).
Sedangkan kalau ditilik dari asal usul, bisa jadi galamai itu merupakan singkatan dari gulo amai (gula mande),” ujar Yum Az kepada wartawan, 2006 silam.
Sedangkan Zainal alias Tek Tam, seorang pedagang galamai yang terkenal di Parik Rantang, Payakumbuh Barat, semasa hidupnya pernah mengatakan, bahwa ada kisah di balik nama galamai. Kisah itu didengar Tek Tam dari neneknya.
Menurut Tek Tam, dahulu kala di Payakumbuh, ada seorang wanita yang sedang sibuk memasak di rumahnya. Wanita itu mengaduk-aduk santan, tebu merah, dan tepung ketan yang disebut tapuang sipuluik dalam bahasa Minang.
Saat wanita itu sedang serius mengaduk-aduk santan, gula tebu, dan tepung ketan, tiba-tiba lewat seorang tetangga yang masih kerabatnya.
Si tetangga bertanya, sedang bikin apa Mai (Mai atau Amai adalah panggilan untuk perempuan yang lebih tua di Payakumb dan beberapa daerah di Sumbar, biasanya panggilan untuk istri dari paman kita).
Namun, belum sampai pertanyaan itu dijawab, bahan-bahan yang diaduk oleh wanita tadi dalam kuali besar, tiba-tiba tumpah. Tetangganya yang melihat kejadian itu spontan berteriak-teriak. “Kalang Mai. Kalang Mai (Beri alas/bantalan Bu).”
“Sejak itulah, muncul nama kalamai. Lambat lain, sebutan kalamai bertukar menjadi galamai. Jadi, sebenarnya, nama asli galamai adalah kalamai,” ujar Tek Tam yang merintis usaha pembuatan Galamai dengan namanya sendiri sejak tahun 1950-an.
Galamai Kaya Filosifi
Galamai memang cuma makanan tambahan bagi “urang awak”. Biasanya, makanan ini menjadi pelengkap “baralek” (pesta pernikahan) ataupun acara adat. Meski hanya makanan tambahan, tapi di balik sepotong galamai, terpendam beribu makna.
Bahkan, saat Menteri Dalam Negeri Amir Machmud meresmikan Kotamadya Payakumbuh pada 17 Desember 1970, makanan yang pertamakali disuguhkan buat “bolduzer politik” Orde Baru itu adalah sepiring galamai dengan sebilah pisau untuk memotongnya.
Dalam buku “45 Tahun Payakumbuh, Tumbuh Kembang Sebuah Kota” dan buku “40 Tahun Payakumbuh, Dari Soetan Oesman Hingga Josrizal Zain”, disebutkan, pemotongan galamai oleh Mendagri Amir Machmud, memiliki filoso sangat mendalam. Sebab, galamai adalah spesifik Payakumbuh.
Proses pembuatan galamai tempo dulu, berlangsung dalam kerja sama yang apik: bahan disediakan kaum ibu dan pengadukan dalam kuali dilakukan para pria.
Cara mengaduk galamai mempunyai teknik tersendiri yang lazim disebut mangacau galamai.
Terlalu kacau akan membuat galamai berpelantingan (berserakan). Sebaliknya, kurang kacau akan menjadikan galamai seperti kotoran kambing (bergumpulan). Untuk itu diperlukan keseimbangan, kearifan, dan kebijaksanaan.
Ketika galamai dalam kuali matang, makanan tradisional itu juga tidak bisa langsung disantap. Namun, harus dituangkan dulu ke dalam sebuah piring. Bila sudah sedikit dingin, baru dipotong dengan menggunakan pisau tajam. Kalau pisau tidak tajam, galamai tidak akan putus.
Segala proses pembuatan galamai itu, diyakini tokoh pendiri Payakumbuh, HC Israr dan Sahar Ismail Datuak Kakomo, mirip betul dengan karakter masyarakat Kota Payakumbuh.
Menurut mereka berdua, galamai memberi makna kias bahwa enak tak bisa langsung diputus, manis tak bisa langsung ditelan. Maknanya, dibutuhkan pemimpin arif, bijaksana, dan berani dalam memimpin Payakumbuh.
”Galamai juga memiliki makna yang sesuai dengan filosofi masyarakat Minangkabau, yakni tagang bajelo-jelo, kandua badantiang-dantiang. Artinya, keras, tapi penuh dengan kearifan dan kebijaksanaan.
Lunak, tapi berprinsip tegas,” kata HC Israr dalam buku autobiografinya dan Sahar Ismail Datuak Kakomo dalam buku catatan hariannya.
Selain filosofi di atas, sejumlah pemuka masyarakat Payakumbuh meyakini, galami mengandung arti persatuan. Jika tak percaya, belilah galamai atau bikin di rumah.
Setelah itu, coba potong dengan pisau. Pasti galamai sulit dipisahkan. Sebab, satu sama lain saling membutuhkan.
Ini seakan mengibaratkan kehidupan warga Payakumbuh yang selalu rukun dalam perbedaan. Kulit boleh beda, mata boleh tak sama. Tapi, Payakumbuh adalah Indonesia mini nan indah.
Proses asimilasi antara penduduk asli dengan pendatang, sudah berlangsung secara paripurna, sejak dulu kala.
Di samping punya makna persatuan, bahan yang digunakan untuk membuat galamai juga kaya filosofi. Misalnya saja, kelapa. Dari akar sampai ke pucuknya, kelapa bermanfaat bagi manusia.
Akarnya untuk obat. Batangnya untuk tonggak. Buahnya untuk dimasak. Daunnya bisa dibakar. Bisa pula bikin ketupat. Orang Payakumbuh diharapkan bisa seperti kelapa: bermanfaat bagi siapa saja.
Sedangkan gula tebu merah yang digunakan untuk membuat galamai, rasanya dikenal manis. Ini seakan mengibaratkan warga Payakumbuh yang terkenal dengan tutur kata manis. Ramah pada siapa saja. Suka menerima tamu. Egaliter.
Maka tak heran, kota ini juga terkenal dengan adegium: “Aianyo joniah, ikannyo jinak, buayo daguak putiah panjagonyo (airnya jernih, ikannya jinak, buaya bermulut putih yang menjaganya).”
Sementara tepung ketan yang dipakai untuk membuat galamai, berasal dari tanaman padi pulut. Tanaman padi itu makin berisi makin merunduk.
Ini menjadi cemeti bagi warga Payakumbuh, agar senantiasa rendah hati. Ibarat pepatah Minang: “Kok tinggi indak malonjak, kok gadang indak malendo (kalau tinggi tidak melonjak, kalau besar tidak menabrak).”
Cara Praktis Membuat Galamai
Membuat galamai, makanan khas Payakumbuh, ternyata gampang. Hanya dengan enam butir kelapa, seliter tepung ketan dan plus satu kilogram gula tebu (saka tabu), kita sudah bisa membuat galamai di rumah sendiri, untuk dicicipi bersama seluruh anggota keluarga.
Langkah pertama yang harus dilakukan untuk membuat galamai adalah menyediakan enam butir kelapa, seliter tepung ketan, dan satu kilogram gula tebu merah. Setelah bahan-bahan ini siap, mulainya mengolahnya.
Enam butin kelapa yang tersedia, mesti dikukur dan diperas santannya. Setelah itu, ambil seliter tepung ketan (sebaiknya kita yang menumbuk dan merendam dengan air). Lalu, siapkan pula satu kilogram gula tebu.
Setelah semua bahan-bahan itu terkumpul, kita harus menyediakan kuali dan api yang cukup. Kemudian, santan kelapa dimasukkan ke dalam kuali. Lalu, diaduk bersama gula tebu merah.
Jika warna dalam kuali sudah berubah, atau gula tebu sudah mencair, kita tinggal memasukkan tepung ketan yang sudah disediakan.
Kemudian, aduk kental semua bahan-bahan itu. Saat mengaduk ini, kita harus bekerja total. Adukannya harus dilakukan terus menerus.Tidak boleh sering berhenti. Sebab disamping mempengaruhi proses matangnya galamai, juga bisa menghilangkan rasa aslinya.
Nah, jika adukan sempurna, dan bahan-bahan dalam kuali sudah mengental. Kita bisa menyalinnya pada wajan, piring atau tempat lainnya.
Nantikan panas galamai suam-suam kuku, setelah itu, baru dibentuk menurut ukuran yang kita suka. Agar galamai lebih nikmat, masukkan sedikit fanile saat mengacaunya. Selamat mencoba!
Tulisan ini diambil dari www.saribundo.biz dengan judul “Filosofi galamai, Dodol Khas Minangkabau”