piamanexplore.com-Minangkabau menerapkan sistem matrilineal yaitu menarik garis keturunan dari ibu.
Sebab itu peranan dan posisi kaum perempuan menjadi sangat penting dalam menentukan berbagai aspek kehidupan alam Minangkabau.
Oleh Luky Kurniawan-Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Unand
Hal ini juga terkait dengan struktur kepemimpinan yang ditentukan berdasarkan garis keturunan ibu.
Begitupun dengan pola pemeliharaan harta bersama (ulayat) dan kepemilikan serta pewarisan jabatan adat, ditentukan oleh dasar garis keturunan ibu.
Segala bentuk aturan dan ketentuan mengenai matrilineal ini bersumber pada satu ruang yang sama yaitu rumah gadang.
Rumah gadang tidak hanya dipandang sebagai rumah tempat tinggal saja, melainkan lebih luas yaitu sebagai pusat dari pengelompokkan sosial masyarakatnya (paruik, kaum dan suku).
Dalam ketentuan adat di Minangkabau rumah gadang dipimpin oleh seorang perempuan (bundo kanduang, limpapeh rumah gadang), yang artinya bahwa bundo kanduang sebagai pemimpin dalam kelompok sosialnya.
Namun pada kenyataannya, bundo kanduang hanya sebagai pemimpin dalam rumah gadang, sedangkan pemimpin di luar rumah gadang adalah saudara laki-laki dari bundo kanduang (niniak mamak).
Pandangan ini menyatakan bahwa laki-laki (niniak mamak), ketika menjadi pemimpin diluar rumah gadang di posisikan sebagai wakil dari bundo kanduang.
Faktanya, laki-lakilah yang sejak dahulu menjadi pemimpin di Minangkabau, yang mana dahulu adanya keberadaan datuk Katumangguangan dan datuk Perpatih nan sabatang sebagai pemimpin di Koto Piliang dan kelarasan Bodi Chaniago dalam masyarakat adat di minangkabau.
Hal inilah mengapa dalam kerapatan adat nagari (KAN) diisi dan didominasi oleh kelompok laki-laki, keberadaan kerapatan adat di Minangkabau menjadi suatu lembaga yang menentukan berbagai aspek kehidupan masyarakatnya.
Karena melalui kerapan adat ini, berbagai bentuk aturan yang menyangkut kehidupan masyarakat mendapat legitimasi atau pengakuan. Sebagai lembaga legitimasi, maka bebagai pemahaman dan konsep terbentuk melalui kerapatan adat nagari.
Di Nagari Sijunjung misalnya, posisi bundo kanduang yang menjadi pemimpin rumah gadang, justru beralih konsep menjadi pendamping suami yang sedang mengemban jabatan adat (penghulu) dalam nagari.
Konsep tentang bundo kanduang memunculkan pertanyaan tersendiri, karena seorang bundo kanduang ditentukan oleh status sosial seorang laki-laki, bukan dibentuk oleh garis keturunan matrilineal atau garis keturunan ibu.
Melainkan bahwa konsep bundo kanduang merupakan istri dari seorang penghulu, secara jelas menunjukkan pola patrilineal, dimana seorang perempuan lebih mengabdikan diri pada suami.
Bundo kanduang yang seharusnya menjadi pemimpin di rumah gadang di sukunya (saparuik, kaum atau suku), justru menjadi pemimpin di rumah gadang milik suaminya.
Konsep bundo kanduang sebagai perempuan yang memiliki darah keturunan seorang penghulu atau ampek jinih, memunculkan persoalan tersendiri, karena posisi bundo kanduang ditentukan berdasarkan garis keturunan ibu.
Dengan kata lain, ada kekacauan dalam garis keturunan matrilineal, di mana posiSi niniak mamak ditentukan berdasarkan garis keturunan perempuan, sebaimana diungkapkan dalam pepatah dari "inyiak turun kamamak, dari mamak turun ka kamanakan"
Akan tetapi tidak semua adat yang menyatakan bahwa bundo kanduang harus berasal dari keluarga penghulu atau niniak mamak.
Peranan laki-laki dalam kerapan adat sebagai lembaga yang melegiti masi berbagai aturan adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Hal ini menunjukkan bahwa penguatan posisi laki-laki di berbagai bidang kehidupan, yang kemudian diakui secara adat melaui KAN.
Namun disisi lain posisi bundo kanduang sebagai pemilik garis keturunan dan pemilik harta pusaka dari kelompok sosialnya terjadi pengkerdilan.
Dominasi laki-laki ditunjukkan dengan banyaknya gelar adat yang diberikan.
Sedangkan gelar adat untuk perempuan tidak begitu banyak, akan tetapi juga ditunjukkan melalui legitimasi keanggotaan kerapatan adat yang diperuntukkan untuk laki-laki dengan berbagai posisi social.
Sementara itu perempuan dianggap tidak memiliki hak untuk ikut di dalamnya.