Minangkabau sumatera barat kaya akan objek pemajuan
kebudayaan bidang pengetahuan, teknologi tradisional, beserta tradisi lisan.
Contohnya, pengetahuan dan tekhnik pertukangan. Aktor utama tukang tuo. Lebih
khususnya tukang tuo surau-musajik tuo (mesjid tua).mesjid raya bisati foto Wikimedia commons
Berbeda dengan tukang tuo umumnya, tukang tuo surau musajik dapat membangun jenis-jenis surau musajik maupun rumah penduduk dengan segala ritualnya sesangkan tukang tuo belum tentu biasa menguasai semuanya.
Tukang tuo surau-musajik tuo adalah tenaga ahli di bidang pertukangan yang terampil, terorganisir dan terpercaya. Mereka menguasai tekhnik mendirikan surau musajik dan bangunan lainnya, memahami kearifan lokal, membangun memiliki world view alam semesta (pandangan dunia yang irasional), dan menjadi spirit untuk menyatukan nagari.
Contohnya tekhnik menghitung sudut siku bangunan; bentuk arsitektur atap surau dan musajik. Menurut tarekatnya; prosesi pemilihan penebangan kayu di hutan hingga gotong royong masyarakat nagari mengangkut bakal tonggak tuo surau-musajik;
Ritual berdoa/ mantra bangunan agar terhindar dari bahaya gempa, petir dan api; menuasai teknologi melalui pengamatan, pengalaman, dan pergaulan; serta mengemban amanat mewariskan pengetahuan tradisi tukang dari tuo tukang sebelumnya.
Semua pengetahuan dan aktor tukang tuo surau-musajik hanya dari dan untuk laki-laki Minangkabau pilihan. Namun kini sudah mulai langka. Tua dan tidak begitu diminati. Hanya kampung bisati dan sekitarnya di kecamatan sungai sarik, kabupaten padang pariaman, provinsi sumatera barat yang masih bertahan dan mempertahankannya.
Sungai sarik kerap di indentikkan dengan perkampungan para tukang tuo surau-musajik tuo dan tukang-tukang tuo lainnya. Menarik! Bagaimana seandainya perkampungan pertukangan tradisional di rawat dan di promosikan? Yakinlah! Identitas budaya setempat, semakin kuat.
Pengetahuan arsitektur tradisional, lestari. Generasi pewarisnya semakin naik gengsi. Kemudian bisa naik haji tampaknya prospektif. Tentu tidak mudah. Masalah pokonya ada pada sistem dan budaya pewarisan, kepada orang pilihan yang diturunkan secara hati-hati.
Sistem pewarisan pengetahuan tukang tuo-surau musajik tuo berawal dari rumah gadang (makna: material dan sistem nilai) keluarga besar orang minang. Minangkabau sebagai sebuah entitas etnis matrilineal memiliki tradisi matrilokal.
Kaum laki-laki dewasa yang sudah menikah tinggal di rumah keluarga perempuan atau istri. Bukan dirumah orang tua atau kamanakan (kemenakan). Dalam adat dan tradisi lama, kaum laki-laki dewasa yang belum menikah, sebaliknya tinggal di surau-musajik. Namun mereka sama-sama bisa merasakan dinamika hidup di surau-musajik dan lapau atau warung.
Entah mereka kemudian menjadi pakiah, tuangku, parewa, pedagang babelok, (keliling), atau tukang tuo surau-musajik. Mereka tersebar di surau-musajik yang ada di jurai (suku,kaum) maupun di nagari masing-masing.
Surau-musajik mewujud sebagai lembaga sekaligus bangunan arsitektur. Coraknya tergantung tarekat pula. Natsabandiyah, syatariyah, kastariyah atau zaman. Semuanya berfungsi sama yaitu tempat ibadah, pendidikan, berlindung, berkumpul, berlatih dan berbagi.
Tinggalan budayanya berupa naskah kuno, pemikiran intelektual, ulama-ulama besar dengan sedikit cerita aib jawi jawi (hubungan sesama jenis), dan bangunan surau-musajik tuo beserta tukang tuo dan sistem pertukangannya.
Mereka telah menjadi bagian dari sejarah pembangunan surau musajik pula. Tak ayal mengungkap naskah kuno terkait tukang tuo dan tradisi lisan sistem pewarisan pengetahuan dan teknologi tradisional yang mereka kuasai akan menantang filolog.
Apakah pola pewarisan pengetahuan dan teknologi pertukangan tukang tuo surau musajik dari generasi ke generasi tersalin ke dalam naskah kuno arab-melayu atau tidak?.
Meskipun laki-laki Minangkabau menghabiskan sebagian hidup di surau-musajik dan lapau. Bukan di rumah gadang dimasa lampau, atau di rumah keluarga inti dewasa ini, pengetahuan unik, bertukang mendirikan surau-musajik tetap di turunkan kepada anak kemenakan. Bukan kepada orang lain.
Berdasarkan hal itulah teknik dan pengetahuan tukang tuo surau-musajik di Minangkabau hyanya di kuasai oleh segelintir orang, yaitu hanya dari dan untuk kaum laki-laki.
Contoh tukang tuo surau-musajik yang cukup terkenal di Minangkabau sejak beberapa dekade silam adalah Ali Umar Dt. Putih, suku sikumbang alias datuk putih (78 tahun) berasal dari dan tinggal di kampung Bisati.
Tukang tuo Dt putih pertama kali coba bertukang di usia kelas 4 dasar tahun 1956. Ayah tirinya mengajarkan teknik dasar memasang pondasi batu kali sejak tukang yang di pesan tidak datang karena ada pergolakan, sementara adonan semen sudah di persiapkan.
Belajar sambil ptraktik bertukang dia lanjutkan setelah berusia balig. Dia belajar kepada banyak guru, sesama orang Bisati sarik. Contohnya Alm. lutan sidi kadai, labai liliah, labai ponyok dan marah sutan. Melihat gelar nama, mereka adalah pemuka surau-musajik juga.
Tukang tuo datuk putih mulai membangun surau musajik berasitektur atap tingkat tinggi sejak tahun 1976. Sudah sekitar 60 an surau musajik dengan berbagai tarekat yang di bangun. Karyanya tersebar di darek maupun rantau Minangkabau, dalam dan luar provinsi sumatera barat.
Karya pertamanya surau jambak, bisati sariak, padang pariaman. Pengerjaan di lanjut disariak, tujuh koto, kapuah, padang sago, toboh ketek, dan pakandangan. Permintaan membangun surau usajik juga datang dari Bukittinggi, sungai penuh, sungai rumbai, muaro tebo, muaro tanmbesi, muaro bulian di jambi bahkan keminas pekanbaru.
Namun tukang tuo-surau musajik tidak bekerja sebndiri. Ada tim yang berjumlah 15 orang ada anak kamanakan, juga tetangga, dan atau dunsanak jauh sistem keanggotaannya berjumlah. Mereka dapat bergabung kapan ada tawaran proyek bangunan saja, asalkan ada komunikasi, namun biasanya jaeang waktu kosong.
Segala keputusan penghitungan upah penghitungan teknik dan ritual membangun di pegang oleh tukang tuo surau-Musajik.
Pola pewarisan pengetahuan dan keterampilan tradisional pertukangan umumnya bersifat turun-temurun. Tukang tuo dengan selektif menurunkan pengetahuan dan kepandaian kusus tukang tuo berupa ritual doa mantra kepada anak-anak kemenakannya itu, sebagai wakil dan orang kepercayaan.
Mereka adalah anak kandung atau kamanakan bawah daguak (anak laki-laki dari saudara perempuan se ibu). Mereka yang di warisi pengetahuan tersebut biasanya anak atau kemenakan yang sudah memiliki bakat dan kemauan sendiri. bukan paksaan sistem ini pula yang di terima oleh tukang tuo datuk putih semasa dia sehatnya.
Mewariskan doa atau mantra ritual pertukangan menjadi suatu kewajiban pula, yang di embankan dari setiap tukang tuo kepada anak-kemenakannnya yang menjadi calon tukang tuo berikutnya. Tukang tuo yang sudah tua dan senior harus mengajarkan ilmunya kepada anak kemenakan yang dipilih, walaupun hanya di ajarkan semalam.
Ada prinsip yang diwariskan, yaitu dilarang keras meminta dan menentukan upah kepada orang atau pihak surau/musajik tuo, kecuali untuk makan, minum dan rokok; meminimalisir potensi konflik (tanah dan bangunan), selektif menurunkan kepandaian, dan bersikap adil dan jujur.
#sumberpadangekspres18.09.22