Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol
Di catat kembali dari mardison Mahyuddin
Catatan ini sangat baik untuk di baca agar tidak gagal paham mengartikan budaya tabuik pariaman
Rekognisi artinya pengakuan, Tabuik Budaya yang dimaksud disini adalah Perayaan Tabuik yang sudah dikonversi menjadi budaya yang jadikan ivent parawisata di Kota Pariaman.
Rekognisi Tabuik ternyata mengalami perubahan sesuai perkembangan sejarah. Tabuik Budaya yang dilakukan oleh masyarakat dan Pemerintah Kota Pariaman sejak lama, diyakini maknanya membawa pesan budaya semata, terbatas sekali, kalaupun ada yang masih rekognisinya dalam makna aqidah.
Fakta bahwa Ivent Tabuik Pariaman itu sebatas rekognisi budaya, nyata sekali, dapat dilihat sampai terakhir belum ada cacatan atau laporan media yang selesai ivent Tabuik, ada warga Kota Pariaman pindah menjadi warga Iran atau pindah paham keagamaan menjadi penganut Syiah.
Tetap saja orang Pariaman menjadi warga Pariaman dan dari paham keagamaannya tetap muslim sunni.
Tidak perlu pula dibantah bahwa peristiwa sejenis Tabuik di Iran, rekognisi atau pengakuan terhadapnya adalah bahagian dari ritual penghormatan terhadap Hasan dan Hosen korban perang Karbela, karena memang mazhab kenegaraan Negara Iran adalah Syiah.
Dalam mazhab Syiah memang peristiwa sejenis Tabuik bahagian dari ritual keagamaan yang sudah menyatu dengan budaya kehidupannya.
Kajian Hukum Tabuik Budaya
Kajian hukum Tabuik Budaya yang dimaksud disini adalah pandangan hukum Islam tentang Tabuik Budaya sebagai bentuk aktivitas muamalah, artinya kehidupan sosial diluar bidang aqidah Islam.
Tabuik Budaya, jika dilihat dari perspektif ajaran Islam, sedikit sekali titik singgung dengan keyakinan agama, bila dilihat dalam perjalanan sejarah yang sudah cukup panjang di negeri Pariaman yang masih kokoh iman dan Islam masyarakatnya.
Logika hukum yang menempatkan pandangan tentang Tabuik Budaya di Pariaman sepertinya sama dengan Tabuik di Iran dan penganut Syiah lainnya patut ditinjau ulang dan dipikirkan secara lebih luas dan mendalam.
Faktor sejarah dan situasi sosial yang mengitarinya sampai saat terakhir dalam memory masyarakat Tabuik sebatas muamalah belaka.
Kajian hukum tentang muamalah lazimnya berhubungan dengan illat hukum. Hukum dalam hal berkenaan muamalah keberadaan nya bergantung atas "‘illat" (sebab) tersebut. Kalau "‘illat" (sebab)-nya tidak ada maka hilang juga hukumnya. Kaidah ushul fiqih-nya ialah:
الØكم يدور مع العلة المأثورة وجودا وعدما
"Al-hukmu Yaduuru Ma'a Al-'‘illati Wujudan wa 'Adaman" (keberadaan hukum itu berkutat pada keberadaan "‘illat" (sebab)-nya. Ada "‘illat" ada hukum, tak ada "‘illat" tak ada hukum.
Ada 2 (dua) macam "‘illat" (sebab) dalam teks syariah, [1] Manshushoh (tertulis), dan [2] Mustanbanthoh (Teristimbat/Ter/Disimpulkan). ‘illat Manshushoh ialah ‘illat (sebab) yang memang tersebut bersama hukumnya dalam satu susunan redaksi teks syariah itu sendiri. Contohnya:
عَÙ†ْ ابْÙ†ِ عُÙ…َرَ Ø£َÙ†َّ رَسُولَ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ Ù‚َالَ Ù„َا ÙŠَÙ†ْظُرُ اللَّÙ‡ُ Ø¥ِÙ„َÙ‰ Ù…َÙ†ْ جَرَّ Ø«َÙˆْبَÙ‡ُ Ø®ُÙŠَÙ„َاءَ
"Allah swt tidak melihat kepada siapa yang menjulurkan pakaian-nya dengan sombong" (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadits ini jelas menerangkan tentang kemurkaan Allah terhadap mereka yang memakain pakaian dengan menjulurkan atau memanjangkannya dengan nada sombong dan sejenisnya. Atau biasa yang dikenal degan istilah "Isbal".
Dan hadits semacam ini banyak redaksinya bukan hanya ini saja. Karena ini kemurkaan, maka hal ini (menjulurkan panjang kain) itu menjadi haram hukumnya. Akan tetapi Ulama menyimpulkan bahwa "ancaman" kemurkaan Allah itu hanya kepada mereka yang melakukannya karena "sombong".
Ulama berpendapat bahwa keharamannya itu bergantung kepada ‘illat-nya yaitu "khuyala'" (sombong). Jadi ketika ‘illat-nya itu hilang maka hilang juga keharamannya.
Sedangkan ‘illat Mustanbathoh itu ialah ‘illat yang tidak tersebut dalam nash syariah namun, keberadaannya bisa disimpulkan dari redaksi nash syariah itu. Karena nash syariah-nya sangat menjurus ke arah itu.
Yang jadi pertanyaan kemudian adalah; “siapa yang bisa menyimpulkan?” Tentu yang punya wewenang menyimpulkan itu ialah para ulama mujtahid yang memang punya kapasitas dan mengerti tentang dalil beserta madlul-nya. bukan hanya sekedar bisa bahasa arab, tapi lebih dari itu.
Contohnya: hadis nabi saw:
Ù„َا ÙŠَÙ‚ْضِÙŠ الْÙ‚َاضِÙŠ بَÙŠْÙ†َ اثْÙ†َÙŠْÙ†ِ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ غَضْبَانُ
"Tidaklah seorang Hakim Memberikan putusan hukum ketika ia sedang dalam keadaan marah" (HR Ibnu Majah)
Dalam hadits terdapat larangan bagi seorang hakim untuk memberikan putusan hakim ketika ia sedang marah. Artinya seorang hakim harus netral baik fisik atau pun psikis dalam memberikan putusan.
Ulama dalah hal ini berpendapat bahwa larangan tersebut bukan karena semata-mata "Marah". ‘illat larangannya bukan karena marah saja, akan tetapi ‘illat larangannya tersebut ialah karena marah itu bisa menggangu konsentrasi seorang hakim dalam menentukan putusan, dan bukan hanya marah.
Jadi segala sesuatau yang bisa menganggu pikiran Hakim ketika menentukan putusan itu yang menjadi ‘illat larangannya. Bisa jadi karena lapar, mengantuk dan sebagainya.
Dengan kesimpulan tersebut, maka dilarang bagi hakim untuk menentukan putusan ketika ia sedang dalam keadaan lapar, atau sedang mengantuk karena itu bisa menganggu pikirannya.
Jadi "Al-hukmu Yaduuru Ma'a Al-'‘illati Wujudan wa 'Adaman" keberadaan hukum itu berkutat pada keberadaan "‘illat" (sebab)-nya. Ada "‘illat" ada hukum, tak ada "‘illat" tak ada hukum.
Namun, perlu diperhatikan juga, bahwa tidak semua hukum syariat itu ada “karena”-nya, tidak semua hukum syariat itu bergantung pada sebuah ‘Illah.
Ada beberapa hukum, bahwa banyak sekali yang disyariatkan oleh Allah untuk orang muslim ini tanpa ada sebab dan kenapanya.
Contoh yang paling populer ialah hukum wajibnya sholat 5 waktu. Kenapa sholat 5 waktu wajib? Ya jawabannya tidak ada kenapa-nya, semua itu karena Allah swt yang memang menghendaki itu wajib dan setiap muslim punya beban untuk menunaikannya.
Ini yang disebut dengan istlah Al-Hukm Al-Ta’abbudi , hukum ritual yang memang tidak ada kenapa-nya, dan tidak bisa dijelaskan kenapa. Jawabannya yang tepat ialah, karena Allah swt menghendaki itu!
Ada lagi hukum air kencing bayi yang belum makan apa-apa kecuali air susu ibunya. Syariat ini membedakan antara bayi laki dan bayi perempuan, kalau bayi laki-laki, cara mensucikannya cukup dengan dipercikan saja, tanpa dicuci.
Berbeda dengan air kencing bayi perempuan, itu harus dicuci dan harus dihilangkan sifatnya.
Ù‚َالَ اَلنَّبِÙŠُّ ÙŠُغْسَÙ„ُ Ù…ِÙ†ْ بَÙˆْÙ„ِ اَÙ„ْجَارِÙŠَØ©ِ ÙˆَÙŠُرَØ´ُّ Ù…ِÙ†ْ بَÙˆْÙ„ِ اَÙ„ْغُلامِ
“Nabi SAW bersabda"Air kencing bayi perempuan harus dicuci sedangkan air kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan air saja”. (HR. Abu Daud An-Nasai dan Al-Hakim)
Kenapa dibedakan, padahal sama-sama air kencing bayi? Jawabannya ya tidak kenapa-kenapa! Itu karena syariat ini memang membedakannya, dan bagi muslim diharuskan taat dengan apa yang sudah ditetapkan oleh syariah.
Konklusi yang ingin ditegaskan bahwa ivent Tabuik Budaya Pariaman dalam pandangan historis dan sosial kemasyarakatan (muamalah) adalah ditentukan oleh illat, atau alasannya.
Jika alasannya sebatas budaya dan parawisata, tidak punya hubungkait dengan keyakinan (aqidah), maka menjadi boleh.
Tetapi jika Tabuik itu mendorong atau membawa pesan aqidah, keyakinan beragama, maka ia menjadi berbahaya bagi aqidah umat. Mencerahkan masyarakat bahwa Tabuik Budaya, hanya sebatas budaya adalah cara tepat untuk menjamin kelurusan aqidah.
#Wallahu'alam.