Artikel " Jhon Welly ".
Layak dipublikasikan secara luas. Dia menulis sebagai berikut :
Beberapa waktu yang lalu, saya hendak mencari potret perempuan Indonesia zaman dulu. Karena saya tahu pencarian pakai bahasa Indonesia engga akan membuahkan hasil, saya pakai bahasa Inggris. "Malay Woman clothing 19 century." Begitu tulisannya. Muncullah sederet gambar.
Yang membuat saya terperanjat, muncul sebuah gambar berkaitan di pencarian. Gambar perempuan berjilbab syari. Menjuntai sampai ke kaki. Syari sekali. Seperti perempuan zaman sekarang. Tulisannya, "wife and doughter of Panglima Polim." Saya ketuk. Pencarian terkaitnya, bahkan situs gambarnya memakai bahasa Belanda. Bahasa penjajah kita Tertulis "collectie trompenmuseum."
Dari situlah saya mulai ngerti. Bahwa sejarah kita banyak yang disembunyikan dengan sengaja. Disembunyikan dengan bahasa Belanda. Supaya ga ada yang bisa nyari. Setelah saya telusuri begitu banyak foto perempuan zaman dulu yang telah berhijab syari. Vrouw van Malay. Vrouw van Minangkabau. Vrouw van Celebes. Dan bahasa peta yang dipakai bahasa zaman dulu. Kalau ga tau peta dulu, gak akan ketemu.Banyak foto-foto dan arsip sejarah-malah sebagian besar-disimpan di belanda. Arsip foto kita pun disimpan di Universitet Leiden Belanda. Bayangkan, kalau kita mau tau tentang negeri kita harus lari ke negeri orang Oh God.
Apa akibatnya? Akibatnya, banyak terjadi pengkaburan sejarah dan penyelewengan paham. Banyak orang "lantam" yang berkata, "jilbab syari itu budaya Arab Bukan budaya kita. Karena nenek nenek kita tak pernah pakai kerudung itu." Sebenarnya bukan tak pernah Hanya saja dia belum lihat fotonya.
Yang tersebar luas adalah foto nenek nenek kita yang pakai kerudung tipis. Kerudung paling populer di zaman itu. Padahal sebelumnya ada yang syari. Seperti seorang profesor yang memajang postingan di twitternya dan mengatakan, "adem liat kerudung Muhammadiyah zaman dulu. Kerudung yang sangat nusantara."Padahal kata Buya Hamka, sampai tahun 1930 an akhir pun perempuan Makassar, Melayu, Minang, Aceh dan Bima masih menggunakan kain sarung di kepala mereka. Ditutupkan ke wajah. Cuma menampilkan mata untuk melihat. Fungsinya kaya cadar sekaligus jilbab.
Semoga orang Minang, tidak mengingkari bahwa busana syar'i ini sudah ada di Indonesia sebelumnya.
Diteruskan Dari bundo Kanduang
wkwkwkw ngaco deh. Tidak semua perempuan Minang memakai pakaian tertututp bgitu. bahkan pakaian pengantinnya juga terlihat leher dan telinga bahkan rambut. Anda yakin memamg pernah mengunjungi Universitet Leiden Belanda? arsip nya terbuka lebar untuk siapapun loh. Kehidupan masyarakat Aceh juga gak berpakaian syari. Yang anda tampilkan itu hanya sebagian kecil foto yg berasal dari pesantren, bukan semua masyarakat minang. Yang menyembunyikan fakta itu orang orang seperti anda, dengan hanya memilih milih foto yg sesuai dengan keyakinan anda. Istri pertama Buya Hamka yg notabene anak ulama saja tidak memakai jilbab apalagi embel embel jilbab syar'i. hahahahahahahah tanya saja ke keluarga nya langsung. Banyak foto foto nya.
ReplyDeleteSaya Minang asli. Punya puluhan foto2 keluarga jaman baheula, dari tahun 1900 awal. Ada foto2 ibu, nenek, buyut, sampai diatas buyut beserta keluarga besarnya. Juga dari pihat ayah yg juga Minang asli. Gak ada tuh dari mereka dan perempuan dari keluarga besar yang pakai jilbab. Cuma takuluak saja, selendang yg disampir ke kepala. Yang pakai jilbab itu istri ulama, walaupun sering juga tidak, atau anak pesantren putri. Jadi jangan mengeneralisir ya. Orang Minang itu bukan orang bodoh yang gampang disetir pikirannya
ReplyDelete