Trio Pemuda Minangkabau penakluk dan penguasa Pasar Senen, Batavia, sekaligus orang-orang kaya di sekitar Bung Hatta. Mereka adalah:
Johar Sutan Sulaiman (kiri)
Johor Sutan Perpatih (duduk di tengah)
Ayub Rais (kanan)
Seorang bujang Minang tamatan kelas dua sekolah rakyat pergi merantau ke Betawi di tahun 1921. Namanya Johan, yang berasal dari Sawahlunto, Sumatera Barat. Waktu itu saudagar-saudagar bumiputra di Padang sudah mulai sering berbelanja ke Betawi. Sudah sejak dekade sebelumnya jalur pelayaran Padang – Batavia semakin lancar, yang dilayani oleh perusahaan kapal pemerintah (misalnya, tahun 1927 oleh kapal api Ophir melayani rute Betawi – Padang secara rutin yang dapat ditempuh dalam satu setengah hari. Johan nekat pergi ke ibukota Hindia Belanda itu membawa tulang delapan kerat. Niatnya, hendak bekerja jadi pegawai negeri atau swasta. Akan tetapi sesampai di Betawi, ia melihat dunia perdagangan yang ramai.
Maka Johan pun bertukar pikiran. Menjadi pegawai hanya tamat kelas dua sekolah rendah tak akan dapat mengubah nasib, pikirnya. Kini ia ingin jadi pedagang. Tapi apa daya modal tak ada. Johan pun memutar otak. Didekatinya seorang pedagang Arab, lalu dimintanya beberapa helai barang dagangannya, kemudian dikembangnya lapak di tepi jalan.
Begitulah Johan memulai usaha dagangnya secara kecil-kecilan. Lambat laun, anak muda yang hemat dan berkemauan keras itu dapat menyimpan uang sedikit demi sedikit. Akhirnya, ia berhasil mengumpulkan modal sendiri, lalu ia melepaskan diri dari induk semang Arabnya. Kini Johan membeli sendiri barang-barang dagangannya secara kontan. Dengan demikian, harganya jadi lebih murah, dan dengan demikian ia pun dapat menjual dagangannya dengan harga yang lebih murah pula.
Lama-kelamaan, Johan berhasil menyewa sebuah toko di Pasar Senen. Keberhasilan yang sudah diraihnya tidak menjadikan ia cepat puas. Dengan uang tabungannya, kemudian ia berhasil membeli toko itu. Kini ia sudah memiliki toko sendiri. Dagangannya pun semakin laris. Itu tak lain karena layanannya yang ramah tamah kepada para pembeli. Tokonya pun bertambah luas, hingga mencapai enam pintu (meminjam istilah pedagang Minang di Tanah Abang sekarang).
Johan kini sudah jadi pedagang kaya. Maka disuruhnya saudaranya, Johor namanya, menyusulnya ke Betawi. Waktu itu Johor masih bersekolah di Sawahlunto. Johor pun datang ke Betawi membantu Johan. Maka tokonya yang besar itu diberi nama “Handelsvereeniging Djohan-Djohor” (Perusahaan Dagang Johan-Johor). Toko "Djohan-Djohor" terus berkembang. Kemudian dua bersaudara itu mengajak seorang saudagar Minang lainnya berkongsi, namanya Ayub Rais.
Latar belakang Ayub Rais cukup jelas dipaparkan dalam Memoir Mohammad Hatta. Ayub Rais, yang dipanggil oleh Bung Hatta sebagai "Mak Etek Ayub", adalah "penjamin" hidup Wakil Presiden pertama Indonesia itu selama beliau bersekolah di Batavia (kini Jakarta), sejak kedatangannya di ibukota Hindia Belanda itu sekitar bulan Juni 1919, sampai keberangkatannya ke Padang pada bulan Juni 1921, untuk kemudian terus ke Belanda pada bulan Agustus dalam tahun yang sama, sampai Bung Hatta kembali lagi ke Batavia pada bulan Agustus 1932 (lihat fotonya dalam Memoir Bung Hatta, 1979:63). Bahkan setelah itu, Bung Hatta pergi ke Jepang dengan Ayub Rais untuk mengadakan perjanjian dagang dengan pengusaha-pengusaha Jepang.
Waktu Bung Hatta sampai di Batavia, Ayub Rais sudah terkenal juga sebagai seorang saudagar besar, tapi hidupnya tetap sederhana. Ia dan istrinya, Daidah, (yang dipanggil "Mintuo" oleh Bung Hatta) dan seorang anak perempuannya yang bernama Nelly, tinggal di sebuah rumah di Jalan Jakarta di bilangan Kota (kini Jakarta Pusat). Bung Hatta menyebut Ayub Rais sebagai mamaknya (pamannya). Memang ia juga berasal dari Bukittinggi, tapi tidak dijelaskan bagaimana persisnya hubungan kekeluargaan mereka.
Diceritakan oleh Bung Hatta dalam Memoir-nya (hlm. 61-62), Ayub Rais meninggalkan Bukittinggi, sebentar tinggal di Padang, sebelum kemudian pergi ke Betawi. Mula-mula ia bekerja sebagai jurutulis pada seorang bangsa Jerman, yang berdagang berbagai rupa. Untuk mencapai kemajuan, ia belajar mengetik 10 jari. Dalam waktu yang singkat sekali ia memperoleh diploma. Hal itu menarik perhatian induk semang Jermannya itu. Akhirnya, ia diberi pekerjaan yang lebih banyak yang selalu dikerjakannya dengan rajin dan bersemangat.
Ayub akhirnya mendapat warisan uang dari induk semangnya itu sebesar f 10.000 ketika induk semangnya itu pensiun dari dunia dagang. Ayub juga dijadikan anak angkat oleh induk semangnya karena induk semangnya itu tidak punya anak. Karena tangan dinginnya, akhirnya Ayub Rais berhasil dalam dunia dagang. Waktu itu, ia menjalankan perdagangannya lebih banyak dengan cara spekulasi.
Ia ambil sejumlah barang dari orang dalam partai besar, lalu tiga bulan kemudian harga barang itu dibayarkan. Kalau harga-harga naik, maka dapatlah ia untung yang lumayan besar. Tapi jika sebaliknya yang terjadi, alamat bangkrut akan didapat. Cara dagang seperti itu berisiko besar akan jatuh pailit. Oleh sebab itu, setelah berhasil mengumpulkan uang sebanyak f 500.000, Ayub Rais pergi naik haji ke Mekah. Setelah pulang dari Tanah Suci, ia beralih ke usaha lain. Setelah itulah tampaknya ia bergabung dengan Firma "Djohan-Djohor".
Hatta mencatat dalam Memoir-nya (hlm. 255-57) bahwa ia disambut oleh Mak Etek Ayub Rais ketika sampai lagi di tanah air pada tahun 1932. Ayub ikut ke Pelabuhan Tanjung Priok untuk melihat proses pemeriksaan buku-bukunya yang berpeti-peti oleh duane pelabuhan. Buku-buku itu dikirim dari Belanda dan sebelum diambil oleh pemiliknya di Batavia, harus diperiksa terlebih dahulu. Bung Hatta menyebutkan bundelan Majalah Indonesia Merdeka ditahan oleh duane karena dianggap bacaan berbahaya. Bung Hatta mengatakan bahwa semua bukunya itu kemudian disimpan di rumah Mak Etek Ayub Rais di Defensielijn Van den Bosch yang sebelumnya merupakan sebuah hotel. Letaknya tepat pada Jalan Sawah Besar menuju Lapangan Terbang Kemayoran (belakangan disebut daerah Bungur Besar).
Pada bulan Februari 1933, Bung Hatta diajak oleh Ayub Rais pergi ke Jepang untuk urusan bisnis dagang pamannya itu. Mereka berangkat dari Batavia via Singapura dengan menumpang kapal "Johor Maru". Perjalanan Bung Hatta dan Ayub Rais ke Jepang ditemani oleh seorang rekan dagangnya, orang Jepang yang juga punya kantor perusahaan di Batavia, yang dipanggilnya Tuan Ando. Ando, Hatta dan Mak Eteknya tinggal di Singapura selama lima hari. Keberangkatan Bung Hatta tak lepas dari intaian spion Belanda.
Di Singapura, Bung Hatta bertemu dengan beberapa orang Minangkabau, termasuk salah satu pemilik warung Padang yang selalu menggratiskan ia makan di restorannya, dan seorang saudagar Minang pemilik Toko Padang di Batavia bernama Haji Usman yang terpaksa lari ke Singapura karena jatuh bangkrut dan dikejar-kejar oleh orang-orang yang menagih utang kepadanya.
Perjalanan mereka bertiga di Jepang diceritakan pada halaman 293-308 dalam Memoir Bung Hatta. Selama berada di Jepang, Hatta dan pamannya itu tinggal di Hotel Koshien, sebuah hotel yang terbilang bagus yang terletak antara Kobe dan Osaka. Ayub Rais yang didampingi oleh Bung Hatta dan Ando mengadakan perjanjian dagang dengan beberapa pengusaha Jepang dan melihat beberapa pabrik di Kobe, Osaka, dan Tokyo. Namun, kunjungan Bung Hatta itu diketahui oleh insan pers di Jepang, sehingga banyak wartawan yang mengerubuti “Gandhi of Java” itu, demikian pers Jepang menyebutnya, begitu kapal Johor Maru yang ditumpangi Hatta merapat di Pelabuhan Kobe sekitar Maret 1933.
Pada Bulan Maret 1942, Bung Hatta sempat bertemu dengan Johor yang dipanggilnya "Etek" di Hotel Des Indes di Jakarta. Waktu itu Hatta dijemput dari Sukabumi untuk bicara dengan para petinggi militer Jepang di Batavia. Johor sendiri menyebut Bung Hatta sebagai "Anak Gadang", maksudnya "Anak yang kini menjadi orang besar" (Hatta 1979:396).
Dalam kesempatan itu, Johor menyediakan pakaian baru yang bagus untuk Bung Hatta melalui toko jahitnya, Nam Mie, di Jalan Antara. Maksudnya, supaya Bung Hatta kelihatan necis dan gagah ketika berhadapan dengan para pembesar militer Jepang nanti. Bung Hatta sempat mampir ke Firma "Djohan-Djohor" di Senen mengisi waktu luangnya di Jakarta sebelum berunding dengan para pembesar Jepang (Gunseiken dan Sumobuco). Pakaian yang dibuatkan oleh penjahit Nam Mie pesanan Etek Johor sangat cocok di tubuh Bung Hatta.
Membaca Memoir Bung Hatta, kita mendapat kesan betapa dekatnya hubungan tiga serangkai pemilik Firma "Djohan-Djohor" dengan Bung Hatta, khususnya Ayub Rais. Ayub bahkan menyediakan biaya sekolah untuk Bung Hatta selama ia belajar di Prins Hendrik School di Batavia. Ikatan emosional sesama perantau Minangkabau di Jakarta sangat kuat.
Perusahaan dagang "Djohan-Djohor" terus berkembang dan mempunyai cabang di Pekalongan, Semarang, Surabaya, Bandung, dan Medan. Sumber tulisan ini mencatat: “Semendjak itoe keadaan di Pasar Senen jadi beroebah benar. Dahoeloe jang ada disana hanja toko orang Tionghoa semata-mata, tetapi semendjak toko Djohan-Djohor berdiri, toko-toko orang Boemipoetera jang lain didirikan poela. Dan sekarang toko-toko kain orang Boemipoetera soedah sebanding banjaknja dengan toko-toko orang Tionghoa”.
Tiga anak muda Minang bersaudara ini adalah kompetitor pedagang Tionghoa pertama di Pasar Senen. Mereka termasuk generasi perantau Minang awal yang sukses mengembangkan usaha dagangnya di Betawi (Jakarta). Seperti sering diekspresikan dalam cerita-cerita lisan Minangkabau, Johan tiga bersaudara betul-betul menggambarkan dunia perantauan orang Minang: pergi meninggalkan kampung diiringi sebak sudut mata bunda kandung, dan tanpa modal apapun, untuk kemudian pulang membawa tuah. Kuncinya adalah sifat rendah hati, hemat, dan suka bekerja keras.
Sumber tulisan ini menulis: “Kadang-kadang tampak kedoea saudara itoe melihat-lihat pekerdjaan pegawainja. Air moekanja tenang dan ramah, sedikitpoen tidak tampak ketinggiannja. Akan tetapi dibalik air moeka jang tenang itoe tersemboenji kekerasan hati jang sebagai wadja”. Hal itu betul belaka kiranya, sebagaimana dapat dilihat dan dikesan dalam foto ini: yang duduk Johan, dan yang berdiri Ayub Rais (kiri) dan Johar (kanan).
Kisah sukses Handelsvereeniging "Djohan-Djohor" menambah lagi pengetahuan kita tentang sejarah perantauan orang Minangkabau di awal abad ke-20, khususnya mengenai perintis keberadaan para pedagang Minangkabau di Pasar Senen, Jakarta.
Sumber foto: Taman Kanak–Kanak, No. 45, Thn ke-8, hlm. 177 [suplemen Pandji Poestaka, No. 91, Thn XV, 12 November 1937)man (kiri)
#piamanexplore.com