Ditulis kembali oleh Herlina Hasan Basri
Berbeda dengan ibu Kartini yang mencurahkan segala keinginannya dan penderitaannya melaui surat2 kepada anak penjajah yg menjadi sahabatnya di belanda,bundo Rahmah berjuang dengan segala daya upayanya dimasa penjajahan Belanda yang saat itu sangat sulit bagi kaum perempuan untuk mengenyam pendidikan,beliau tidak ingin wanita Indonesia menjadi bodoh,karna dalam agama Islam wajib menuntut ilmu.
Dalam dunia pendidikan islam, Rahmah el-Yunusiyah merupakan pelopor bagi pendidikan muslimah di Indonesia maupun Dunia. Pada usianya yang relatif muda, 23 tahun, Rahmah el-Yunusiyah telah mendirikan lembaga pendidikan khusus bagi kaum perempuan, yaitu Diniyah School Putri (1923 M.) guna memberikan pendidikan bagi kaum perempuan Minang pada masa itu.
Diniyyah School Putri merupakan sebuah langkah maju dalam pendidikan muslimah di Indonesia bahkan di dunia. Karena sekolah yang digagas oleh Rahmah el-Yunusiyah ini tidak hanya memberikan pelajaran agama maupun umum, tetapi juga mengajarkan berbagai keterampilan yang diperlukan oleh seorang muslimah sebagai ibu yang mandiri.
Maka ketika Rektor Universitas Al-Azhar Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyyah Putri pada 1955, beliau tertarik dengan sistem pembelajaran khusus yang diterapkan disana dan menginspirasinya untuk mendirikan Kuliyyatul-Lil-Banat (kampus Al-Azhar khusus putri) di Universitas Al-Azhar. Dan Rahmah pun dinobatkan sebagai Syaikhah (Guru Besar Wanita) pertama dari Universitas Al-Az
Rahmah el-Yunusiyah lahir di sebuah rumah gadang jalan Lubuk Mata Kucing, Kanagarian Bukit Surungan, Padang Panjang pada hari jum’at tanggal 29 Desember 1900 M, bertepatan dengan tanggal 1 Rajab 1318 H, dari keluarga Syekh Muhammad Yunus dan Rafi’ah.
Terlahir sebagai anak terakhir dari lima bersaudara yaitu Zainuddin Labay (1890-1924 M), Mariah (1893-1972 M), Muhammad Rasyad (1895-1956 M), dan Rihanah (1898-1968 M). Namun Rahmah masih mempunyai saudara lain ibu, yaitu Abdus Samad, Hamidah, Pakih Bandaro, Liah, Aminuddin, Safiah, Samihah dan Kamsiah.
Ayah Rahmah el-Yunusiyah, Syekh Muhammad Yunus adalah seorang ulama besar di zamannya. Syekh Muhammad Yunus (1846-1906 M) menjabat sebagai seorang Qadli di negeri Pandai Sikat dan pimpinan Tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah.
Selain itu Syekh Muhammad Yunus juga ahli ilmu falak dan hisab. Ia pernah menuntut ilmu di tanah suci Mekkah selama 4 tahun. Kakeknya ialah Syeikh Imaduddin, tokoh tarekat Naqsabandiyyah di Minangkabau.[2] Ulama yang masih ada darah keturunan dengan pembaharu Islam yang juga seorang tokoh Paderi, Tuanku Nan Pulang di Rao.
Adapun ibunda Rahmah el-Yunusiyah yang biasa disebut Ummi Rafi’ah, nenek moyangnya berasal dari negeri Langkat, Bukittinggi Kabupaten Agam dan pindah ke bukit Surungan Padang Panjang pada abad XVIII M yang lalu. Ummi Rafi’ah masih berdarah keturunan ulama, empat tingkat diatasnya masih ada hubungan dengan mamak Haji Miskin, sang pembaharu gerakan Paderi.
Ummi Rafi’ah yang bersuku Sikumbang adalah anak keempat dari lima bersaudara. Ia menikah dengan Syekh Muhammad Yunus saat berusia 16 tahun, sedangkan Syekh Muhammad Yunus berusia 42 tahun.
Dalam usia enam belas tahun Rahmah menikah dengan seorang alim dan mubaligh bernama Haji Bahauddin Lathif dari Sumpur Padang Panjang. Perkawinan ini tidak berlangsung lama, hanya enam tahun, pada tahun 1922 keduanya bercerai atas kehendak kedua belah pihak dan selanjutnya menganggap sebagai dua orang bersaudara.
Dari perkawinan ini Rahmah tidak mempunyai anak. Sejak perceraian tersebut, ia tidak bersuami lagi. Rupanya hal ini memberi faedah kepadanya sendiri, sehingga ia dapat menempatkan seluruh hidupnya kepada perguruan yang didirikannya. Ia berpulang ke rahmatullah pada hari Rabu tanggal 9 Zulhijjah 1388 Hijriah atau tanggal 26 Februari 1969 pada pukul 19.30 wib di rumahnya sendiri di Padang Panjang. Jenazahnya dikuburkan di perkuburan keluarga disamping rumahnya yang juga di samping perguruan yang ia dirikan di pinggir jalan Lubuk Mata Kucing.
Rahmah Kecil yang Haus Ilmu
Sedari kecil, Rahmah tidak pernah mengecap pendidikan formal yang dibuat oleh pemerintah Belanda. Walaupun saat itu sudah ada sekolah Bumiputera tingkat pertama di Minangkabau. Tetapi, Rahmah yang sudah menjadi yatim semenjak kanak-kanak itu mendapatkan pendidikan terbaik dari keluarga dan murid-murid ayahnya.
Engku Uzair Malim Batuah yang juga murid ayah rahmah mengajarinya membaca Al-Qur’an semenjak usianya enam tahun. Ketika usianya delapan tahun, Rahmah dituntun tulis–baca huruf latin oleh kakaknya Zainuddin Labay dan Muhammad Rasyad yang pernah belajar di Sekolah Desa. Umi Rafi’ah, ibunya juga ikut mengajari Rahmah berhitung dengan angka–angka Arab (angka Melayu).[3]
Rahmah juga secara rutin mengikuti pengajian-pengajian dari surau ke surau untuk memambah pengetahuannya di bidang agama. Ia juga dikenal sebagai anak yang rajin membaca buku.
Ketika kakaknya Zainuddin Labay mendirikan Diniyyah School pada tanggal 10 Oktober 1915 berdiri, ia ikut belajar di perguruan ini. Rahmah sempat mengikuti Diniyyah School hingga kelas tiga. Namun ia masih belum puas dengan apa yang ia dapatkan di sekolah ini, ia merasa banyak persoalan yang masih belum terpecahkan, termasuk persoalan wanita.[4]
Rasa ketidak-puasannya ini dibicarakan dengan tiga temannya sesama wanita, yaitu Rasuna Said dari Maninjau, Nanisah dari Bulaan Gadang Banuhampu, dan Jawana Basyir (Upik Japang) dari Lubuk Agung. Mereka berempat bersepakat untuk membentuk kelompok belajar.
Rahmah mengajak ketiga temannya ini untuk menambah ilmu agama secara mendalam di luar perguruan di antaranya di Surau Jembatan Besi.[5] Surau Jembatan Besi yang dipelopori oleh Syekh Haji Abdullah Ahmad ini kelak menjadi PGAI.
Tampaknya di Surau Jembatan Besi inilah Rahmah bertemu dengan sosok Haji Abdoel Karim Amrullah (ayahanda dari Buya HAMKA), dan memintanya untuk mengajarinya berbagai disiplin ilmu agama secara privat di rumahnya di Gatangan.
Di sini ia memperdalam pengajian mengenai masalah agama dan wanita, di samping itu juga ia mempelajari bahasa Arab, fiqih dan ushul fiqih.[6] Rahmah juga belajar dari ulama minang lainnya seperti, Tuanku Muda Abdul Hamid Hakim (pimpinan sekolah Thawalib Padang Panjang), Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdul Latif Rasjidi, dan Syekh Daud Rasjidi.[7] Ia baru merasakan adanya kepuasan dan telah menemukan apa yang dicarinya selama ini.
Diusianya yang ke-23 tahun, Rahmah mendirikan Madrasah lil-banat yang menjadi cikal bakal Diniyyah Putri School. Setelah tujuh tahun mengembangkan sekolahnya, Rahmah tertarik untuk menambah pengetahuan dan keterampilan yang kelak dibutuhkan oleh kaum muslimah.
Sekitar tahun 1931-1935, ia mengikuti kursus ilmu kebidanan di RSU Kayu Tanam dan mendapat izin praktek / ijazah bidan dari dokter. Dalam bidang kebidanan ini ia juga mendapat bimbingan yang mula-mula diberikan dari kakak ibunya Kudi Urai, seorang bidan yang menolong kelahiran dirinya dan Sutan Syahrir (Mantan Perdana Menteri RI).
Selain itu, ia belajar ilmu kesehatan dan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) dari enam orang dokter yang juga gurunya dalam kebidanan: dokter Sofyan Rasyad dan dokter Tazar di rumah sakit umum Kayu Tanam (mendapat izin praktek dan ijazah dengan kedua dokter ini), dokter A. Saleh di RSU Bukittinggi, dokter Arifin dari Payakumbuh, dan dokter Rasjidin dan dokter A. Sani di Padang Panjang. Untuk mendalami praktek kebidanan dan ilmu kesehatan ini ia belajar sambil praktek di RSU Kayu Tanam.
Rahmah juga mempelajari olahraga dan senam dari Mej. Oliver seorang guru di Normaal School di Guguk Malintang. Kemudian ia juga mempelajari cara bertenun tradisional, yakni: bertenun dengan menggunakan alat tenun bukan mesin yang pada masa itu banyak dilakukan oleh masyarakat Minangkabau. Ia mendatangi beberapa pusat pertenunan rakyat seperti Pandai Sikat, Bukittinggi dan Silungkang. Ilmu bertenun ini ia lengkapi dengan belajar jahit-menjahit. Kedua ilmu ini yakni: bertenun dan jahit-menjahit dimasukkannya kedalam kurikulum perguruannya kemudian.
Seluruh pengalaman Rahmah el-Yunusiyyah menjadi pelajaran berharga dan mempengaruhi metode pendidikan yang ia terapkan pada Diniyyah Putri School.
Mengapa Harus Sekolah Khusus Muslimah?
Berdasarkan perjalanan hidupnya dalam mencari ilmu dan berguru kepada tokoh-tokoh ulama besar, maka timbullah sebuah keinginan kuat dari Rahmah agar mencerdaskan kaum perempuan. Rahmah merasa kaum muslimah saat itu belum mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Dalam sebuah catatan hariannya, Rahmah pernah menuliskan:
“Ya Allah Ya Rabbi, bila ada dalam ilmu-Mu apa yang menjadi cita–citaku ini untuk mencerdaskan anak bangsaku terutama anak-anak perempuan yang masih jauh tercecer dalam bidang pendidikan dan pengetahuan, ada baiknya Engkau ridhai, maka mudahkanlah Ya Allah jalan menuju cita–citaku itu. Ya Allah, berikanlah yang terbaik untuk hamba-Mu yang lemah ini. Amin.”
Berbeda dengan perjuangan Raden Ajeng Kartini yang mengusung agar kaum wanita mendapatkan hak sama dengan kaum lelaki, terutama dalam bidang pendidikan. Di Ranah Minang, justru hal itu bukanlah menjadi sebuah masalah, karena madrasah dan sekolah yang sudah ada saat itu memperbolehkan siapapun untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar tanpa memandang perbedaan gender.
Walaupun kebanyakan masyarakat awam masih memandang kurang perlunya pendidikan bagi wanita, tetapi para muslimah keturunan tokoh-tokoh ulama saat itu didorong untuk mendapatkan pendidikan yang baik oleh orang tua mereka, sebut saja Rahmah el-Yunusiyyah, Rasuna Said dan masih banyak wanita lain yang dapat mengecap pendidikan selayaknya kaum laki-laki.
Namun mengapa Rahmah seakan-akan memaksakan diri untuk mendirikan sekolah khusus putri, jika kaum muslimah saat itu sebenarnya sudah mendapatkan kesempatan untuk belajar di sekolah-sekolah yang ada?.
Kemungkinan motivasi Rahmah untuk membangun sekolah khusus putri di karenakan Rahmah melihat bahwa pendidikan yang ada saat itu belum menjawab semua permasalahan yang dihadapi oleh kaum wanita. Hal inilah yang dialami oleh Rahmah sampai ia bertemu dengan sosok Haji Abdul Karim Amrullah.
Pandangan Rahmah ini menegaskan bahwa penyamaan kurikullum antara pelajar putra dan putri bukanlah sesuatu yang bijak, karena keduanya memiliki karakter dan peran yang berbeda dalam masyarakat walaupun keduanya memiliki tanggung jawab yang sama sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesunguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 21)
Muhammad Quthb mempunyai pandangan yang sama terhadap hal ini, bahwa kaum wanita dan lelaki harus dipisahkan dalam pendidikan saat karakter keduanya mulai mulai terbangun. Ia mengatakan:
“Dan jiwa keprajuritan haruslah tampak pada sekolah-sekolah putra, dan jiwa keibuan harus terlihat pada sekolah-sekolah putri, untuk mempersiapkan peran keduanya di masa yang akan datang. Dan tidaklah dicampurkan sebagaimana jahiliyyah modern mencampurkan keduanya, yang akhirnya hanya akan menghasilkan generasi lembek yang saat ini menyesaki muka bumi. Generasi yang tidak tampak pada pandangan pertama –atau bahkan sampai pandangan terakhir- apakah ia anak lelaki atau anak perempuan?”
Pembangunan nilai dan karakter islamiyyah tidak akan terwujud tanpa memisahkan proses pendidikan keduanya. Permasalahannya bukanlah pelajaran apa yang harus dipelajari putra atau putri, karena keduanya bisa saja mendapatkan pelajaran yang sama. Tetapi bagaimana suasana yang kondusif bagi anak laki-laki untuk membangun sikap kejantanannya dan bagi anak perempuan untuk membentuk karakter kewanitaanya.
Maka Rahmah memiliki cita-cita agar wanita indonesia memiliki kesempatan penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kodrat wanita hingga bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mendidik, ia bertujuan agar wanita sanggup untuk menjadi ibu pendidik yang cakap, aktif dan bertanggung jawab kepada kesejahteraan bangsa dan tanah air.
Cita-cita Rahmah ini kemudian dimanifestokan dalam bentuk sebuah lembaga pendidikan yang didirikan khusus untuk kaum wanita, yaitu Diniyyah Putri School.
Diniyyah Putri School
Atas sokongan dari Zainuddin Labay dan para alumni Diniyyah School yang dipimpinnya. Rahmah pada mulanya mengusulkan gagasannya dirundingkannya dengan teman–temannya di Persatuan Murid-murid Diniyah School (PMDS), usulan itu mendapat sambutan baik. Dan Rahmah mampu mendirikan al-Madrasah Lil-Banat pada tanggal 1 November 1923.
Awalnya hanya terdapat 71 orang murid yang kebanyakan berasal dari kalangan ibu-ibu rumah tangga yang masih berusia muda. Pelajaran diberikan tiap hari selasa selama 3 jam di sebuah masjid di Pasar Usang, Padang Panjang, dan terdiri dari pelajaran agama serta ilmu alat.[13] Setelah beberapa lama, nama sekolah ini diganti menjadi Diniyyah Putri School dan terakhir menjadi Peguruan Diniyyah Putri.
Pada awalnya banyak kalangan masyarakat yang tidak yakin akan kemampuan para kaum wanita muslimah untuk menjalankan sebuah pendidikan yang baik. Bahakan tidak sediikit diantara mereka yang mencemooh karena menurut mereka kaum wanita itu seharusnya bekerja di dapur.
Pada tahun 1924 sekolah itu pindah ke sebuah rumah di dekat masjid, dan mulai diadakan kelas-kelas yang dilengkapi dengan bangku, meja dan papan tulis. Bagian atas dari rumah ini dipergunakan sebagai asrama pada tahun 1925 dan ditempati oleh kira-kira 25 orang.
Ketegaran dan sikap mandiri Rahmah terlihat dengan jelas saat Madrasah Lil-banat ini rusak berat karena gempa yang terjadi pada 1926. Rahmah membangun kembali madrasahnya tanpa mau bergantung pada bantuan orang lain.
45 hari sesudah gempa ia bersama-sama dengan majelis guru dan dibantu oleh murid-murid Thawalib School Padang Panjang, kembali secara gotong royong mendirikan beberapa rumah bambu diatas sebidang tanah wakaf dari ibunya, Ummi Rafi’ah, dengan atap daun rumbia berlantaikan tanah. Setelah rumah bambu Ini berdiri, kemudian dijadikan rumah darurat untuk memulai kembali kegiatan perguruannya.
Pengumuman disebarkan ke seluruh daerah asal murid, bahwa sekolah akan memulai kembali kegiatannya. Pembangunan sekolah dilaksanakan sesuai kemampuan sambil melanjutkan kegiatan belajar mengajar di kelas darurat tersebut. Para wali murid yang bersimpati kemudian mendirikan satu komite penyelamat perguruan ini untuk mencari dana guna pembangunan sekolah.
Pada tahun 1927, Rahmah pergi ke Sumatera Utara untuk mengumpulkan dana guna membangun sebuah gedung permanen yang baru. Gedung ini selesai di tahun berikutnya, yaitu sebuah bangunan dengan tujuh kelas.
Dalam proses pendidikan di Diniyyah Putri School, Rahmah menerapkan sistem pendidikan terpadu, yaitu : memadukan pendidikan yang diperoleh dari rumah tangga, pendidikan yang diterima sekolah dan pendidikan yang diperoleh dari masyarakat di dalam pendidikan asrama. Dengan sistem terpadu ini, teori ilmu pengetahuan dan agama serta pengalaman yang dibawa oleh masing–masing murid dipraktekkan dan disempurnakan dalam pendidikan asrama di bawah asuhan guru–guru asrama. Kurikulumnya terdiri dari kelompok bidang studi agama, bahasa Arab, ilmu pengetahuan dan kelompok bidang studi ini di orientasikan kepada pembentukan pribadi muslimah dan kualitas diri.
Sekolah Putri yang Independen
Dalam menjalankan sekolahnya, Rahmah berusaha untuk tidak terikat dengan pihak manapun sehingga ia berusaha tidak tergantung kepada pihak manapun secara finansial ataupun ideologis.
Secara finansial, Rahmah pernah menolak bantuan dari kawan-kawannya di Diniyyah School untuk membangun kembali gedung yang rusak akibat gempa pada 1927. Ia dengan halus menolak bantuan tersebut, dan berkata :
“Usul ini sangat dihargakan oleh pengurus dan guru-guru sekaliannya, akan tetapi buat sementara golongan perempuan (puteri) akan mencoba melayarkan sendiri pencalangnya sampai ke tanah tepi dan mana kala tenaga putri tidak sanggup lagi menyelamatkan pencalang itu, maka dengan sepenuh hati pengharapan guru-guru dan pengurus akan memohonkan kembali usul-usul engku-engku sekarang, kepada engku-engku yang menurut kami patut kami menyerahkan pengharapan kami itu”.
Pernah juga pemerintah Belanda menawarkan bantuan untuk membantu sekolahnya dengan subsidi penuh dengan syarat Diniyyah Puteri menjadi lembaga yang berada dibawah pengawasan Belanda. Rahmah pun menolak dengan tegas, ia tidak mau sistem pendidikan yang sudah terbangun dengan baik dibelokkan oleh Belanda.]
Subsidi pemerintah kolonial akan membuat dirinya terikat, dan mengakibatkan keleluasan pemerintah kolonial mempengaruhi pengelolaan program pendidikan Diniyah School Putri ini. Kondisi seperti itu telah di alami Adabiyah School yang pada tahun 1915 menerima subsidi pemerintah kolonial.
Pada tahun 1932 peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai pemerintah yang disebut Ordonasi Sekolah Liar (Wilde Schoool Ordonantie),Rahmah melawan dengan mendirikan “Komite Penolakan Ordonansi Sekolah Liar” pada tahun 1933 di Sumatera Barat.
Rahmah juga menolak jika pendidikan dicampurkan dengan kegiatan politik, walaupun ia sendiri sebenarnya terlibat dengan kegiatan politik. Rahmah berpendapat bahwa pemimpin-pemimpin politik pada masanya di daerah Minangkabau terdiri dari orang-orang yang didalam masa mudanya, mereka memperoleh pelajaran agama di lembaga-lembaga yang mereka masuki di mana tidak ada pelajaran khusus tentang politik yang diberikan.
Pandangan Rahmah ini bertolak belakang dengan apa yang diyakini oleh sahabatnya Rasuna Said, hingga akhirnya Rasuna memilih untuk keluar dai Diniyyah Puteri.
Maka ketika PERMI berusaha untuk mengumpulkan dan menghimpun sekolah-sekolah pembaharu dibawah supervisinya, Rahmah tidak menyetujui hal itu. Maka saat PERMI mengadakan permusyawaratan besar guru-guru agama Islam se-Minangkabau di Padang Panjang pada tahun 1931, guru-guru dari Diniyyah Puteri tidak merespon dengan baik. Sebagai pemimpin Permi, Mukhtar Lutfi mempertanyakan hal tersebut.
Rahmah pun mengemukakan pendapatnya, “Biarkan perguruan ini terasing selama-lamanya dari partai politik, dan tinggalkanlah ia menjadi urusan dan tanggungan orang banyak (umum), sekalipun umum itu dalam aliran politiknya bermacam warna dan ragam, tapi untuk perguruan dan penanggung jawab atasnya haruslah mereka itu satu adanya”Maka pada saat PERMI membuat Dewan Pengajaran Permi, Rahmah membuat wadah bagi pengajar-pengajar diniyyah puteri yang dinamakan Perikatan Guru-Guru Agama Putri Islam (PGAPI) pada tahun 1933. Begitu juga di saat Dr. Mahmud Yunus berusaha menyamakan kurikullum di sekolah-sekolah islam di Sumatera Barat agar sejalan dan memiliki kesamaan visi.
Sikap Rahmah yang menolak campur tangan pihak lain, baik dalam pendanaan ataupun penyusunan kurikullum dan lainnya menunjukkan keteguhan beliau untuk mempertahankan cita-cita beliau agar anak-anak didiknya mempunyai karakteristik yang berbeda dari sekolah-sekolah lainnya.
Kontribusi Tak Pernah Putus
Dalam dunia pendidikan, kontribusi Rahmah tidak hanya dengan mendirikan Diniyyah Puteri School saja , tetapi ia juga mendirikan beberapa sekolah lainnya, diantaranya;
Menyesal School, yaitu sekolah pemberantasan buta huruf di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Sekolah ini didirikan pada tahun 1925 dan berlangsung selama tujuh tahun yaitu sampai tahun 1932. Kemudian sekolah ini tidak dilanjutkan.
Yunior Institut Putri, sebuah sekolah umum setingkat dengan Sekolah Rakyat pada masa penjajahan Belanda atau Vervolgschool, didirikan pada tahun 1938.
Islamitisch Hollandse School (IHS) setingkat dengan HIS (Hollandsch Inlandse School), yaitu sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
Sekolah DAMAI (Sekolah Dasar Masyarakat Indonesia).
Kulliyatul Mu’allimin El-Islamiyah (KMI), yaitu sekolah Guru Agama Putra yang didirikan pada tahun 1940. KMI Putra ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan guru–guru agama putra yang banyak didirikan oleh masyarakat di Sumatera Barat. Keempat sekolah ini berhenti beraktivitas semenjak zaman penjajahan Jepang.
Pada tahun 1947 ia kembali mendirikan empat buah lembaga pendidikan agama putri dalam bentuk lain, yaitu Diniyah Rendah Putri (SDR), sekolah setingkat Sekolah Dasar dengan lama pendidikannya tujuh tahun,
Sekolah Diniyah Menengah Pertama Putri Bagian A Tiga Tahun (DMP Bagian A), Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian B Lima Tahun (DMP Bagian B), dan Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian C Dua Tahun (DMP Bagian C). Tiga buah sekolah yang disebut terakhir setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama ( SMP ) dengan bidang studi agama dan bahasa Arab menjadi mata pelajaran pokok.
Akademi Diniyah Putri yang lama pendidikannya tiga tahun pada tahun 1964. Tanggal 22 November 1967 Akademi ini dijadikan Fakultas Dirasat Islamiyah dan merupakan fakultas dari Perguruan Tinggi Diniyah Putri. Fakultas ini “diakui” sama dengan Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) untuk tingkat Sarjana Muda.
Disamping sebagai pendidik, Rahmah juga dikenal sebagai seorang pejuang. Dialah orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di sekolahnya setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan indonesia. Jiwa nasionalisme dan patriotismenya memang tertanam kuat dalam dirinya. Karenanya ia sangat mendambakan kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu, semasa revolusi kemerdekaan, ia dipenjarakan oleh Belanda dan baru dibebaskan tahun 1949 setelah pengakuan kedaulatan. Hingga tahun 1958 ia aktif di bidang politik. Dalam kaitan ini, ia antara lain menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Sumatra Tengah, ketika Barisan Sabilillah dan Sabil Muslimin di Padang, dan anggota Konstituante mewakili Masyumi. Peranannya yang paling menonjol adalah kepeloporannya dalam pembentukkan Tentara Keamanan Rakyat pada tanggal 2 Oktober 1945.
NB:Pendidikan di Minangkabau secara khusus dan pendidikan islam secara umum, bukanlah pendidikan yang diskriminatif terhadap kaum perempuan sebagaimana terjadi di Tanah Jawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya sekolah-sekolah yang berkualitas bagi kaum laki-laki atau wanita dengan kesempatan yang sama. Rahmah el-Yunusiyyah ialah termasuk salah satu wanita yang berkesempatan mendapatkan pendidikan dari ulama-ulama terbaik pada masanya walaupun ia hanya sebentar mengecap pendidikan formal.
Disandingkan dengan pahlawan-pahlawan wanita lainnya seperti Cut Nyak Dien, R. A. Kartini dan lainnya. Kontribusi Rahmah terhadap pendidikan, terutama pendidikan kaum muslimah seharusnya menjadi bahan kajian bagi sekolah-sekolah islam dan pakar pendidikan supaya mendapatkan formula yang tepat dalam mendidik anak-anak bangsa terutama bagi kaum muslimah. Walahu ‘alam bishowab.
#Histori Minang