-->
NGx9MGB7Nap6Nax5MaRbNqN7MmMkyCYhADAsx6J=
MASIGNCLEANSIMPLE103

Tuan Siteneng Yang Pernah Menghiasi Sejarah Minangkabau

 

oleh : DR. Suryadi Sunuri

Ya, "TUAN SITENENG", begitu orang Minangkabau, khususnya penduduk Agam, lebih khusus lagi penduduk Kamang, melafalkan namanya. Dia tiada lain adalah L.C. WESTENENK, orang yang pernah menghiasi (satu-dua, atau mungkin lebih) lembaran sejarah Minangkabau di akhir kurun ke-19 dan awal abad-20.

Nama TUAN SITENENG tentu mengingatkan kita pada PERANG KAMANG atau PEMBERONTAKAN PAJAK di tahun 1908 yang heroik tapi prematur itu. Tidak sampai dalam hitungan hari, pemberontakan itu berhasil dipadamkan oleh Belanda. TUAN SITENENG, yang waktu itu menjabat sebagai Asisten Resident Agam Tuo, mengirim serdadu KNIL yang bengis dengan senapan, bayonet, dan kelewang terhunus ke Kamang untuk memadamkan pemberontakan itu. Pemberontakan itu memang berhasil diberangus dalam waktu singkat, namun 'singa'-nya sempat menjalar ke beberapa daerah lain, antara lain ke MANGGOPOH di dekat TIKU, yang kemudian mengharumkan nama seorang wanita di sana karena berhasil membunuh beberapa serdadu Belanda di bentengnya: UNIANG SITI, yang sampai sekarang terkenal dengan nama SITI PANGGOPOH. Ken Young dalam disertasinya, ISLAMIC PEASANTS AND THE STATE: THE 1908 ANT-TAX REBELLION IN WEST SUMATRA (Monograph 40/Yale Southeast Asia Studies, Yale Center for International and Area Studies, 1994) telah mengkaji dengan mendalam pretext dan akibat-akibat dari PERANG KAMANG ini.

Putra Kamang HAJI AHMAD MARZUKI menggambarkan peristiwa yang amat tragis dan menyedihkan itu dalam syair yang ditulisnya di penjara (tansi), SYAIR PERANG KAMANG. Dalam syair itu ia mengisahkan bagaimana serdadu kiriman TUAN SITENENG dari Fort de Kock dan Padang dengan kejam dan tanpa ampun merambah para pemberontak itu dengan peluru, bayonet dan kelewang, seperti layaknya orang marambah kalayau dan batang kumbah. Tentu saja orang-orang yang naif itu dalam waktu singkat habis bertumbangan. Mereka percaya bahwa azimat tahan pelor yang konon diberikan oleh SYEKH ABDUL MANAN, kepala pemberontakan itu, yang tiada lain adalah ayahanda Ahmad Marzuki sendiri, akan membuat peluru yang ditembakkan dari laras bedil para serdadu KNIL kiriman TUAN SITENENG akan malantun di kulit mereka dan bayonet serta kelewang mengkilat para serdadu itu tak akan mampu merobek jangek (kulit) mereka.

Yang terjadi adalah: tubuh-tubuh para lelaki Kamang bertumbangan dimakan pelor serdadu kiriman TUAN SITENENG. "Nan heran bana hamba pikiri, Bekas peluru urang ka mati, Dilihat di muka sagadang menjadi, Rompak ka punggung tidak seperti', tulis Ahmad Marzuki menggambarkan tubuh-tubuh para pengikut Syekh Abdul Manan yang koyak-rompak diterjang peluru, bayonet, dan kelewang serdadu KNIL kiriman TUAN SITENENG (lihat: Djurip dkk., (Translits. & Eds.), KAJIAN NASKAH PEMIMPIN KE SURGA DAN SYAIR PERANG KAMANG YANG KEJADIAN TAHUN 1908. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, Dirjen Nilai Tradisional dan Dirjen Kebudayaa, Depdikbud, 1996:113). Sang ayahanda Ahmad Marzuki sendiri, Syekh  Abdul Manan, tewas dalam pemberontakan itu.

Para perempuan, istri, dan anak memekik histeris melihat tubuh-tubuh ayah/suami/saudara/kakek mereka yang berpakaian serba putih bergelimpangan bersimbah darah. Ternyata azimat tahan pelor dan senjata tajam itu tak mangkus. Berpedati-pedati mayat diangkut ke pekuburan untuk dimakamkan. Haji Ahmad Marzuki menulis:

Amma ba'du inilah peri, Hamba yang hina Ahmad Marzuki,

Nazam dikarang di dalam tansi, Akan perintang rusuhnya hati.

 

Allahurabbi Tuhan Rahman, Mula-mula sengsara tiba di badan,

Di negeri Kamang urang katakan, Malam Selasa patang Sinayan.

Pukul tiga malam serdadu datang, Pikul senapan serta kelewang,

Tampak di halaman bedil dipegang, Kumandur upas sudahlah terang.

 

Tuan Siteneng lalu berkata: 'Wahailah Haji Amad bernama,

Lihatlah ayahmu lekas segera, Kami mencari tidak bersua.'

Tuan Siteneng lalu berkato: 'Marilah cari samalam iko,

Diri bajalan lalu sugiro, Dengan serdadu berjalan samuo.

 

Hibonyo hati bukan kapalang, Ayah dilihat sudahlah terang,

Badan rusak nyao berpulang, Hati di dalam menaruh bimbang.

Satu persatu mayit lah tentu, Dicari padati waktu itu,

Pembawa mayit pengumpul satu, Pakuburan panjang sudahlah tentu.

Sepanjang karirnya dalam dinas BB Hindia Belanda, TUAN SITENENG telah ditempatkan di berbagai daerah. Pria kelahiran PENAWANGAN (Keresidenan Semarang) tgl. 3 Februari 1872 dan lulusan sekolah ambtenaar dari Delft Academie tahun 1892 ini pernah bertugas di Bandung, Borneo, Aceh, Sumatra Timur, Batavia, dan tentu saja Sumatra's Weskust. Ia juga pernah ditugaskan beberapa saat di Turki. Orangnya sangat ulet, meskipun sebenarnya sering sakit-sakitan. Oleh karena keuletannya itulah dadanya diberati oleh bintang 'Ridder der Militaire Willemsorde', 'Ridder der Orde van den Ned. Leeuw', 'Officier der Orde van Oranje Nassau, dan 'Tanda kehormatan semasa peperangan di Atjeh'.

Akan tetapi, jika dilihat dari jejak intelektual ambtenaar yang rajin menulis ini, tampaknya masyarakat Minangkabau sangat berkesan di hatinya. Ia meninggalkan banyak tulisan (artikel dan buku) tetang etnis yang menganut sistem MATRILINEAL yang langka ini. Artikel-artikelnya tentang masyarakat, budaya, dan sejarah Minangkabau (khususnya tentang jejak Hinduisme di pedalaman Sumatra dan masa lampau entrepot Pariaman) diterbitkan dalam berbagai jurnal, seperti KOLONIAAL TIJDSCHRIFT, TBG, VBG, dll. Dan sebagai buah dari persentuhannya dengan orang Minangkabau dan Melayu pada umumnya, dia telah menulis setidaknya dua buku yang sangat menarik: 1) DE MINANGKABUSCHE NAGARI (Nagari di Minangkabau) (Padang: Baümer & Co., 1913; 2) WAAR MENSCH EN TIJGER BUREN ZIJN (Dimana manusia dan harimau bertetangga) (Den Haag: Leopold, 1927).

Dalam banyak sumber lokal (koran vernakular, syair, cerita rakyat, dll.) nama TUAN SITENENG pun acap kali disebut-sebut, sebuah jejak sejarah yang menukilkan pandangan subjek terjajah terhadap (oknum) penjajah, HAL YANG CENDERUNG DIABAIKAN OLEH KEBANYAKAN HISTORIAN BARAT BILA MENGKAJI SEJARAH KIPRAH KOLONIAL NENEK MOYANG MEREKA DI NEGERI-NEGERI 'ORIENT' DALAM ABAD-ABAD YANG TELAH LAMPAU, karena mereka lebih suka berbicara mengenai hal-hal yang bersifat kuantitas: berapa serdadu mereka yang mati, berapa jumlah lawan yang berhasil dibunuh, berapa jumlah senjata dan jenis senjata apa yang dipakai, berapa biaya peperangan di A, di B, dan di C, berapa jumlah batubara, kopi, cengkeh, kulit manis, emas, teh, dll. yang berhasil dikapalkan ke Eropa dan berapa uang yang berhasil masuk brankas 'Negeri Induk' dari penjualannya, dan lain sebagainya.

Jika saya boleh berefleksi, dilihat dari kedua sisi (sisi si penjajah dan subjek terjajah), figur TUAN SITENENG dalam konteks sejarah Minangkabau terkesan paradoks. Di satu sisi, dia terkesan sangat keras, disiplin, dan sangat mungkin dianggap punya mental kolonialis yang pekat. Selepas pensiun dari BB Belanda dan kembali ke Eropa, dia menjadi 'penguntit' dan 'pancibuak' aktivitas mahasiswa Indonesia di Belanda.

Sebagaimana telah diuraikan oleh Harry A. Poeze dalam bukunya, DI NEGERI PENJAJAH (2008:207-213), setelah PERHIMPUNAN INDONESIA (PI) berada di bawah kepengurusan MOHAMMAD HATTA dan kawan-kawan sejak awal 1923, perkumpulan pelajar Indonesia di Negeri Belanda itu cenderung makin radikal. Mereka makin tegas menuntut kemerdekaan Indonesia. Hal ini telah membuat Penasihat Pelajar Indonesia, L.C. WESTENENK, yang diberi otoritas oleh Menteri Daerah Jajahan untuk mengawasi para pelajar Indonesia di Belanda, merasa khawatir. TUAN SITENENG terus memata-matai Hatta dan kawan-kawannya. Mungkin saja niatnya baik, supaya para pelajar itu belajar dengan benar. Tapi ia telah menempatkan diri sebagai 'Kolonial Master' yang menganggap si pribumi sebagai 'domba-domba' yang masih liar yang harus diawasi setiap hari. Sikap dan perannya itu menuai kritik dari banyak pihak, antara lain dari mantan Residen Sumatra Barat, J.D.L. Le Febvre, dan intekletual pribumi, Dr. Abdoel Rivai (lihat bukunya, STUDENT INDONESIA DI EUROPA, Weltevreden: N.V. Electr. Drukkerij & Uitgevers Mij. Bintang Hindia, 1928).

Keadaan ini disebabkan oleh beberapa hal: 1) tulisan-tulisan Hatta dan kawan-kawan dalam majalah INDONESIA MERDEKA, orgaan PI, terkesan makin radikal. Tuntutan kemerdekaan Indonesia makin dinyatakan secara eksplisit; 2) Keterlibatan Hatta dalam Kongres Pertama Menantang Imperialisme di Brussel pada bulan Ferruari 1927 yang diprakarsai oleh tokoh komunis Jerman Münzenberg; 3) tuduhan bahwa Hatta dan kawan-kawan dipengaruhi oleh paham komunis yang sangat anti penjajahan/imperialisme yang disuntikkan oleh rekan-rekannya yang belajar di Rusia (Semaun dkk.).

Tanggal 10 Juni 1927 polisi Belanda melakukan penggeledahan di rumah para pemimpin PI dan menyita berbagai dokumen. Rumah Hatta juga digeledah, tapi waktu itu ia sedang berada di luar Belanda (di Swiss untuk mendampingi mahasiswa Soemadi Sastrodihardjo yang dirawat di sana karena sakit keras terkena TBC dan akhirnya meninggal; di Paris untuk menghadiri kongres Ligue Internationale des Femmes pour la Paix et la Liberté [Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan]).

Ketika Hatta kembali ke Belanda, ia dan tiga orang kawannya (Ali Sastroamidjojo, Abdoelmadjid Djojoadhinigrat, dan Nazir Pamontjak) segera ditahan oleh polisi. Peristiwa itu terjadi pada 24 September 1927. Mereka segera dijembloskan ke dalam penjara di Den Haag.

Hatta dkk. baru disidangkan pada bulan Maret 1928. Hatta dituntut hukuman penjara selama 3 tahun; Pamontjak 2,5 tahun; dan Sastroamidjojo dan Djojoadhinigrat masing-masing 2 tahun (lihat: Het Volk, Dagblad voor arbeiderspartij [Amsterdam], 08-03-1928; Het Vaderland: staat en letterkundig nieuwsblad [’s-Gravenhage], 08-03-1928).

Partai Belanda SDAP (Social-Democratische Arbeiderspartij) yang bersimpati kepada perjuangan bangsa Indonesia di Belanda menggalang dana dan simpati publik dan juga mengirim dua pengacara untuk mendampingi Hatta dkk.: J.E.W. Dyus, anggota Majelis Rendah parlemen Belanda, dan pengacara Mr. Mobach. Hatta dkk. pun mengajukan pembelaan di pengadilan. Tim pembela pun mengajukan pembelaan yang mengesankan (Mr. Dyus menghabiskan waktu 4 jam untuk membacakan pidato pembelaannya).

Akhirnya Hatta dan tiga rekannya dibebasakan. Tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada mereka (oleh Westenenk) tidak terbukti.

Di sisi lain, selama bertugas di Minangkabau/Sumatra Barat, TUAN SITENENG telah melakukan banyak hal yang menginspirasi orang Minang untuk maju, baik dari segi ekonomi, kesehatan, maupun pendidikan/ilmu pengetahuan. Demikianlah umpamanya, ia memperkenalkan acara pasar malam atau tentonstelling di Fort de Kock pada 1907 (laporan keuangan dan aktivitas acara ini sekarang tersimpan di Leiden University Library), memperkenalkan olah raga pacu kuda, dan mendorong kaum perempuan untuk diberdayakan dan diberi kesempatan untuk mengeyam pendidikan. Dalam hal yang terakhir ini, misalnya dia antara lain men-support Sekolah Tenun di Singkarak, dan juga mendorong Rohana Kuddus untuk meluaskan pemandangannya ke Belanda, tapi keluarga dan suaminya konon tak mengizinkan Rohana berangkat, sehingga penggiat Kerajinan Amai Setia itu tak jadi pergi ke 'Tanah Dingin.' Mungkin sang suami agak khawatir beko lapeh 'balam jambi'nyo dari tangan. TUAN SITENENG juga mengirim beberapa kepala adat dan penghulu yang dinilai menonjol ke Jawa (istilah sekarang: 'studi banding') untuk meluaskan pemandangan mereka dengan biaya perjalanan dan lumpsum dari pemerintah.

Demikianlah sedikit cuplikan persentuhan jiwa dan intelektualisme TUAN SITENENG (L.C. WESTENENK) dengan masyarakat Minangkabau.

Kolonialisme ternyata berwarna-warni, tapi sering yang lebIh menonjol/ditonjolkan adalah warna merahnya: genangan DARAH, DARAH, DARAH, DARAH....dan DARAH...

TUAN SITENENG (LOUIS CONSTANT WESTENENK) meninggal di Den Haag pada 2 Mei 1930 dalam usia 58 tahun, usia yang belum begitu tua sebenarnya (lihat: Leeuwarder courant, 5 May 1930). Mungkin dia mati telah meninggalkan belang harimau, 'Inyiak balang' Raja rimba Sumatra yang amat menarik perhatiannya, atau gading gajah.


Leiden, Selasa 4 Januari 2022

Share This Article :
1745663973787222366

Presiden Matta Malaysia Kunjungi Dan Kagumi Rumah Gadang Museum Bustanil Arifin Padang Panjang

Piamanexplore- Presiden Malaysian Association of Tour and Travel Agents (MATTA), Dato' Seri Muh Khalid beserta Istri Akhnidar Binti Ahma...