Oleh: Media Wahyudi Askar
foto riana primadita kampung sarugo solsel
Perjalanan menuntut ilmu telah mengantarkan saya pada rasa syukur tak terkira. Mengajarkan tentang hikmah bahwa tidak semua cerita indah dalam buku pustaka bisa diadopsi oleh seluruh umat manusia.
Sejak merantau meninggalkan Batusangkar pada tahun 2008 dan menuntut ilmu di Fisipol UGM, saya percaya bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik di dunia. Demokrasi yang bersendikan kebebasan, sistem perwakilan dan kedaulatan, dianggap mampu mengendalikan nafsu manusia atas kekuasaan.
Takdir kemudian mengantarkan saya ke Eropa untuk menempuh studi Master dan Doktor di Univ of Manchester, Inggris. Berulang kali saya buka halaman demi halaman pemikiran Huntington, Lincoln, Rousseau, Jhon Locke dan Montesquieu tentang demokrasi, dengan harapan bisa menemukan rumus sistem pemerintahan yang ideal.
Tapi, semuanya terasa hambar, tidak ada yang spesial dan justru bertolak belakang. Pemikiran mereka tentang indahnya demokrasi yang dituangkan 1,5 abad yang lalu justru berlawanan arah dengan kenyataan hari ini. Laporan dari Germany’s Bertelsmann Foundation menyebutkan bahwa banyak negara demokrasi sedang menuju negara gagal baik secara ekonomi, politik dan sosial.
Proses kontemplasi pemikiran membawa saya pada pertanyaan berikutnya. Lantas, jika Demokrasi bukan jawaban, apa solusinya?
Saya tidak menyangka, perenungan akhirnya membawa saya kembali ke kampung halaman. Hari ini saya sadar, ternyata sistem pemerintahan yang hebat sudah terlebih dahulu disusun oleh nenek moyang saya, suku Minagkabau.
Satu fakta menarik yang saya temukan adalah ternyata pada saat Mostequie menulis buku The Social Contract yang kemudian menginspirasi nilai-nilai demokrasi dunia pada tahun 1762. Ternyata sistem pemerintahan Nagari di Minangkabau sudah berkembang sejak tahun 1347. Bahkan pada saat Thomas Jefferson baru menyusun pondasi demokrasi Amerika pada tahun 1809. Sistem pemerintahan Minangkabau sudah sempurna dengan Sumpah Satie Bukik Marapalam, adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah pada tahun 1803.
Artinya, pada saat demokrasi dilahirkan, pemikiran tentang dasar-dasar sistem pemerintahan sudah terlebih dahulu berkembang di Minangkabau. Bahkan sistem pemerintahan yang dikembangkan di Minangkabau saat itu jauh lebih modern, humanis dan inklusif .
Sistem pemerintahan Minangkabau zaman dahulu dipimpin oleh Datuak/Penghulu (Pemimpin adat), Cadiak Pandai (cerdik pandai/ilmuwan) dan Alim Ulama (Ahli Agama).
Ketiga komponen ini disebut dengan Tungku Tigo Sajarangan, Tali Tigo Sapilin. Istilah itu adalah kiasan yang menggambarkan Tungku (alat masak atau dudukan kuali) yang terdiri dari tiga buah batu dimana tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain, tetapi ketiga nya saling mendukung satu sama lain.
Fungsi dari ketiga tokoh tersebut sangat kontekstual. Datuak berfungsi untuk menjalankan administrasi pemerintahan dan membina anak kemenakan, Cadiak Pandai atau Ilmuwan berfungsi untuk meningkatkan pengetahuan dan ekonomi masyarakat serta alim ulama bertugas menjaga akhlak dan melakukan justifikasi atas persoalan-persoalan agama.
Dengan kata lain, setiap pemimpin tersebut menjalankan fungsinya sesuai dengan kemampuannya. Alim ulama tidak akan ikut campur pada aspek hukum dan perekonomian masyarakat, Cerdik Pandai atau ilmuwan tidak akan ikut campur pada urusan pemerintahan, dan Datuak juga tidak akan ikut campur pada urusan-urusan agama. Filosofinya sederhana, karena tidak ada manusia yang sempurna dan tahu segalanya. Itulah kenapa dalam sistem pemerintahan di Minangkabau setelah tahun 1347, tidak lagi mengenal yang namanya Raja.
Sehingga jika ada yang bertanya, kenapa pada zaman kemerdekaan begitu banyak tokoh nasional yang berasal dari Minangkabau. Jawabannya adalah karena mereka dilahirkan oleh sistem pemerintahan Tungku Tigo Sajarangan. Ayah Muhammad Hatta, Abdurrahman Batuhampar adalah Alim Ulama pendiri Surau Batuhampar, Ayah Muhammad Yamin adalah seorang Datuak. Ayah Buya Hamka, Muhammad Amrullah adalah seorang ulama terkemuka. Ayah Agus Salim adalah Cadiak Pandai atau ilmuwan. Bahkan tidak banyak yang tahu, Tan Malaka adalah seorang Datuak dan tokoh masyarakat di kampung halamannya pada tahun 1913.
Namun demikian, sayang sekali, kita harus menerima kenyataan sejarah bahwa sistem pemerintahan itu akhirnya dihilangkan dari tanah Minangkabau. Pada tahun 1979 melalui UU. No 5 pemerintah Soeharto menggantinya dengan sistem pemerintahan desa sebagai alat kontrol kekuasaan politik. Perlahan peran Datuak, Alim ulama dan Cadiak Pandai deigantikan oleh kepala desa. Masyarakat kebingungan, karena Kepala Desa berubah menjadi raja kecil menguasai seluruh kehidupan masyarakat baik ekonomi, sosial bahkan agama.
Hingga hari ini, kondisi itu berkelindan semakin rumit. Semua orang berlomba-lomba menjadi Kepala Desa. Karena harus melakukan jurus politik akhirnya sanak saudara terpecah belah. Bagi mereka yang terpilih sebagai Kepala Desa, mereka menjadi sombong bak Raja, menganggap dirinya adalah pemimpin dan tahu segalanya.
Ingin tahu bagaimana kondisi Datuak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai Minangkabau hari ini?
Datuak seakan hanya menjadi gelar belaka. Mereka tidak lagi punya kuasa dan petuahnya sudah tidak dihormati lagi. Sebagai contoh, jika dahulu mereka memiliki kewenangan penyelesaikan persoalan sengketa tanah ulayat, saat ini semua urusan diselesaikan melalui pihak kepolisian dan besarnya uang sogokan.
Sebagian diantara Datuak itu hidup miskin dan tidak bisa membantu sanak keluarga secara ekonomi. Ironi yang lain, banyak Datuak justru memilih menetap di perantauan dan tidak memperhatikan kampung halaman.
Kondisi Alim Ulama di Minangkabau saat ini juga sama parahnya. Nasehat mereka sudah tidak lagi didengarkan. Bahkan Alim Ulama hari ini dianggap sebagai sebuah profesi. Yaitu untuk mendulang uang dengan memberikan ceramah dari Mesjid ke Mesjid tanpa menyadari hakikat dan peran ulama yang sesungguhnya.
Bagaimana dengan Cerdik Pandai atau ilmuwan? Kondisi mereka tidak lebih baik. Banyak diantara ilmuwan asli Minangkabau yang memilih menetap di perantauan karena tidak pernah diberikan ruang di kampung halaman. Ketika mereka ingin berkontribusi pada kampung halaman, justru dihadapkan pada sistem pemerintahan dan politik kekuasan yang mengutamakan kepentingan golongan.
Akibatnya, hari ini masyarakat Minangkabau kebingungan ketika dihadapkan pada persoalan akhlak. Saya membayangkan jika hari ini peran Tungku Tigo Sajarangan masih berjalan, tidak akan lagi ada perdebatan tentang LGBT dan berbagai pelanggaran moral. Itu karena semua diserahkan pada ahli agama. Tidak akan lagi ada perpecahan karena urusan berbeda pandangan politik karena pemimpin dipilih atas dasar kemampuannya masing-masing.
Yang pasti, kekayaan sistem pemerintahan Minangkabau yang mengagumkan itu telah hilang. Warisan nenek moyang yang sudah terbentuk ratusan tahun lamanya sudah digantikan oleh sistem demokrasi yang notabene baru lahir tahun 1700an. Kenyataannya, masyarakat Minangkabau sudah terlanjur mengadopsi sistem Demokrasi negara Barat, yang kita sendiri tidak pernah tahu pasti kharakteristiknya sosial ekonomi masyarakatnya.
Sistem pemerintahan Tigo Tungku Sajarangan mungkin memang tidak tepat untuk diterapkan di daerah lain seperti Yogyakarta, Kalimantan ataupun Papua. Dengan logika yang sama, demokrasi bisa jadi hanya cocok diterapkan di Amerika sana.
Hanya saja, kita sudah terlambat untuk menyadarinya. Rumput tetangga tampak lebih hijau. Padahal rumput di halaman rumah sudah dihiasi bunga cempaka yang sangat indah.
Dari sudut ruangan, MSV South 13.40 GMT
Manchester