Dibuang?
Ya, persis bila sudah terbuang langsung tak terpakai, terpinggirkan tak, tidak
disapa, tidak lagi diajak dalam kehidupan bermasyarakat, dianggap tidak ada.
Betapa lagi dibuang sampai jauh. Dan itu siksaan, penghinaan, dan amat
menyakitkan. Lalu, apa makna sepanjang adat? Berapa panjang adat itu? Diukur
dengan apa? Ada ungkapan adat salingka nagari (adat selingka negari), dan ukum
(benar, ukum) salingka kaum (hukum selingkar kaum). Dengan demikian, adat satu
negari bisa beda dengan kaum negari. Dan hukum kaum ini bisa berlainan dengan
hukum kaum itu. Siapa dibuang? Jawabannya pasti: pemangku, palaku kebudayaan
dan orang Minangkabau alias urang awak yang berbuat salah, yang melanggar
hukum. Datuk, ninik mamak, tetua adat para bundo, mungkin dikecualikan. Sekali
lagi mungkin mereka dimuliakan. Bukankah mereka selalu tidak boleh berkata
kasar, tidak boleh menghardik-menghantam tanah? Mereka tidak boleh makan sambil
berdiri, apalagi sambil berjalan.
Gambar ilustrasi
Mengapa dibuang? Menurut tambo ada empat kesalahan yang bisa, biasa yang pernah dilakukan. Pertama, kesalahan terhadap adat (adat yang sebenar adat, adat yang diadatkan, adat yang taradat, dan adat buatan atau adat-adatan). Contoh kesalahan terhadap adat, kawin sesuku, atau di negeri tertentu, kawin dengan laki-laki yang bukan sekampung. Kedua, kesalahan terhadap undang-undang. Contoh, menjual atau menggadaikan pusaka tinggi. (kecuali bila tersua: rumah gadang katirisan, gadih gadang indak balaki, maik tabujua dirumah gadang). Ketiga kesalahan terhadap cupak (asli dan buatan). Contoh kesalahan tidak membayar utang. Ampun diberikan bila hutang sudah dibayar. Dan, keempat, kesalahan terhadap agama (Islam). Contoh kesalahan, murtad dan atau pindah agama. Para pelaku yang bersalah itu dihukum, dibuang sepanjang adat.
Paling tidak ada lima hukuman dibuang sepanjang adat.Pertama, buang sirih. Buang sirih bisa diampuni setelah hukuman dijalani dalam tempo tertentu atau bila sudah membayar denda.
Kedua, buang biduk. Ini orang yang dibuang dari kaum. Bila tobat dia diterima kembali dalam tataan saadat salimbago (seadat selembaga).
Ketiga, buang utang. Ini adalah orang salah ucap: memanggil wa-ang kepada datuk mencaci maki tetapi diterima kembali setelah bayar kesalahan, biasa dengan emas.
Keempat buang puluih atau laleh. Orang ini dibuang jauh diharamkan menginjak kampung halaman, atau sementara waktu ia dijadikan hamba. Bila sudah baik dia diampuni.
Kelima, buang tingkarang (tembikar) atau buang saro, buang yang tidak boleh diampuni alias dibuang seumur hidup, kecuali tobat. Ini berlaku buat pemurtad!
Siapa pelaksana atau eksekutor? Peserta musyawarah kaum, dan hanya peserta musyawarah kaum! Ya datuk, penghulu pucuk, para mamak dan bundo dikaum itu. Siding adat di bendul rumah gadang pada malam hari, diadakan untuk anak kemenakan yang diduga telah berbuat salah, setelah diindang ditampi-teras, dikeruk sehabis gaung, dibicarakan secara mendalam kesimpulan diambil anak kemenakan bernama… dan bergelar… memang bersalah. Dia wajib dibuang sepanjang adat.
Dalam sidang kaum yang memutus, ketika lelaki duduk sebendul dengan perempuan, semenda sama sekali tidak di ikut sertakan. Semenda, ayah kandung para kemenakan, adalah orang datang. Pendatang mirip turis, orang luar, orang hebat, atau siapa pun, memang tidak bisa menentukan apa-apa disebuah kaum. Begitulah adat sebenar adat.
Nan sakarang kini nan ko, masih berlakukah konsep dibuang sepanjang adat di etnik Minangkabau? Masih! Bukankah adat minangkabau itu tidak lekang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan?
Bila implementasi konsep disatu dan lain negeri berbeda, itu soal lain.